Oleh: Nathan Goodman. Teks aslinya berjudul “The Weekly Abolitionist: Public Good or Public Bad?” diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Ameyuri Ringo.
Jika Anda bertanya kepada para ekonom tentang dimana negara harus terlibat, satu jawaban yang akan sering kita dengar adalah negara harus menyediakan “kebutuhan publik.” Kebutuhan publik adalah segala sesuatu yang tidak dapat dikecualikan dan tidak bersaing. Tidak dapat dikecualikan yang dimaksud oleh ekonom adalah sekali layanan tersebut dihadirkan, tidak ada sesiapapun yang dapat dikecualikan untuk mengaksesnya, terlepas dari berapapun mereka membayarnya. Sebuah layanan dapat dikatakan tidak bersaing jika saat satu orang menggunakannya, tidak menghapuskan jatah orang lain.
Salah satu contoh klasik kebutuhan publik adalah pertahanan nasional. Jika pasukan pertahanan akan menangkal serangan dari tentara yang akan menyerang komunitas kita, mereka tidak boleh hanya melindungi rumah tetanggaku, tapi mengabaikan rumahku. Melindungi kawasan berarti melindungi kita semua, walaupun jika satu dari kita membayar untuk pertahanan dan satu lainnya tidak. Begitu juga saat saya menerima layanan pertahanan, itu tidak menghapuskan jatah pembelaan bagi tetangga saya.
Mencegah kejahatan jalanan juga dapat diartikan sebagai kebutuhan publik. Jika penyerangan jarang terjadi di jalanan lingkungan saya, semua orang di jalan akan mendapat manfaat dari risiko penyerangan yang lebih rendah. Dan saat saya tidak diserang tidak membuat tetangga saya lebih mungkin untuk diserang.
Begitu para ekonom menyadari bahwa pertahanan dan keamanan sebagian besar adalah kebutuhan publik, mereka menyimpulkan bahwa pertahanan dan keamanan tidak akan dapat terpenuhi oleh mekanisme pasar. Seseorang menyediakan jasa pertahanan nasional, misalnya, akan memiliki setidaknya beberapa pelanggan yang menyadari bahwa mereka dapat menerima layanan pertahanan tanpa harus membayar penyedianya. Jika banyak orang yang memilih untuk tidak membayar, maka layanan mungkin tidak diberikan sama sekali, atau setidaknya akan diberikan kurang dari yang diinginkan konsumen layanan. Jadi, para ekonom akan menyimpulkan, pertahanan harus disediakan oleh negara. Negara akan menggunakan pajak untuk mengatasi masalah orang-orang yang tidak membayar namun mendapatkan layanan. Orang-orang ini akan diancam dengan audit, penangkapan, dan penahanan jika tidak membayar, dan pemaksaan ini akan mencegah orang-orang untuk tidak membayar, memungkinkan pemerintah untuk dapat melayani kebutuhan publik.
Banyak ekonom, komentator politik, dan orang-orang akan mengakhiri analisisnya sampai sini. Padahal harusnya tidak. Karena “kebutuhan” yang telah negara pilih untuk sediakan tidak selalu akan dibutuhkan. Misalnya alih-alih digunakan untuk mempertahankan diri melawan invasi, negara justru menggunakan anggaran “pertahanan nasional”nya untuk mengebom pernikahan, melempar bom mematikan ke dalam konflik, atau mendanai penggunaan tentara anak. Ini bukan hanya teori belaka, semua ini merupakan penerapan kontemporer dari pengeluaran anggaran “pertahanan” Amerika Serikat. Saya berpendapat bahwa pengeluaran ini tidak membuat hidup kita lebih baik. Sebaliknya, itu justru memprovokasi kebencian dan ekstremisme yang membuat kita lebih rentan. Selain itu, bagi banyak dari kita, tindakan ini membuat dunia kita menjadi kurang adil, kurang seperti dunia yang ingin kita tinggali. Dalam hal ini, penganggaran pertahanan tidak menyediakan “kebutuhan publik” melainkan “keburukan publik”. Ekonom Christopher Coyne dan Stephen Davies telah mengidentifikasi banyak “keburukan publik” lainnya yang terkait dengan perang dan tirani.
Demikian pula, sistem peradilan pidana juga dapat menciptakan keburukan publik. Sementara sistem peradilan pidana memaksakan ketertiban pada masyarakat, ketertiban itu mungkin salah satu yang disukai warga negara atau mungkin salah satu yang kurang diinginkan warga negara daripada alternatifnya. Elinor Ostrom menjelaskan bagaimana tindakan polisi dapat menimbulkan kerugian bagi sebagian warga negara dan manfaat bagi warga lainnya, sehingga secara bersamaan menghasilkan “kebutuhan publik” dan “keburukan publik”:
Ketika polisi menanggapi aduan masyarakat tentang gangguan di lingkungan perumahan, mereka dapat memberikan layanan kepada beberapa warga dan merugikan orang lain. Beberapa orang menganggap jalan yang kosong dan sepi sebagai “tertib” dan memiliki preferensi yang kuat untuk tinggal di lingkungan seperti itu. Yang lain lebih suka jalan yang sibuk dan bising, penuh dengan teman dan kenalan. Jalan tertentu tidak boleh kosong dan sibuk, sepi dan berisik pada saat bersamaan. Apa pun bentuk “aturan” yang ditegakan, beberapa individu akan menganggap layanan sosial oleh negara sebagai keuntungan dan yang lainnya sebagai kerugian. Jadi, sementara penyediaan layanan kepolisian secara publik dapat memberikan manfaat bersama bagi beberapa individu, beberapa biaya bersama juga akan dikenakan karena individu menerima layanan yang mereka ingin hindari.
Ostrom mencatat bahwa potensi biaya bersama akan menjadi lebih buruk ketika polisi berupaya memaksakan moralitas konvensional melalui pelarangan kegiatan seperti perjudian, penggunaan narkoba, aborsi, atau pekerja seks. Dengan menghalangi banyak calon penyedia barang atau jasa tersebut, pelarangan cenderung menaikkan harga. Ini menciptakan keuntungan yang dilindungi untuk beberapa bisnis pasar gelap, seperti kartel narkoba. Hal ini dapat menyebabkan penyuapan, korupsi, penegakan hukum yang tidak adil, dan akibat buruk lainnya yang dapat dianggap sebagai “kejahatan publik” bahkan oleh mereka yang pada awalnya mendukung kebijakan pelarangan.
Mengakui bahwa sistem peradilan pidana dapat menciptakan kejahatan publik memberikan alat penting untuk mengevaluasi sistem peradilan pidana. Kita seharusnya tidak hanya mengukur apakah polisi, kejaksaan, dan penjara telah berhasil mencegah perilaku yang dianggap sebagai kejahatan. Karena dengan melakukan itu, mereka mungkin membuat orang lebih buruk daripada lebih baik. Elinor Ostrom memperingatkan agar tidak jatuh ke dalam “perangkap menilai departemen kepolisian sangat efisien ketika warga menganggap output yang mereka terima sebagai kejahatan publik daripada kebutuhan publik.” Menghasilkan output yang substansial tidak selalu berarti memperbaiki masyarakat; itu mungkin saja berarti sebaliknya.
Seperti yang telah berulang kali dicatat oleh para akademisi dan aktivis anti-rasis seperti Michelle Alexander dan Angela Davis, resiko dalam sistem peradilan pidana secara tidak proporsional jatuh pada orang-orang yang terpinggirkan, terutama orang kulit berwarna. Seperti yang dicatat oleh Christopher Coyne dan Abigail Hall-Blanco dalam sebuah makalah baru-baru ini, anggota kelompok minoritas dibatasi dalam akses mereka ke “suara” dan “keluar”, yang membuat mereka lebih mungkin menanggung resiko kekerasan negara:
Bagi banyak orang, keluar dari komunitas di mana militerisasi polisi terjadi mungkin tidak dapat dilakukan karena kendala keuangan. Pertimbangkan bahwa orang Hispanik dua kali lebih mungkin, dan orang kulit hitam hampir tiga kali lebih mungkin, untuk hidup dalam kemiskinan yang parah dibandingkan orang kulit putih. (National Center for Law and Economic Justice 2015) Mengingat keadaan ini, opsi untuk keluar tidak memungkinkan bagi banyak orang. Akibatnya, individu-individu ini menjadi semakin rentan terhadap alat kontrol sosial negara.
Ada alasan untuk meyakini bahwa mekanisme “voting” juga tidak berguna untuk ras minoritas. Satu studi, misalnya, menemukan bahwa peningkatan segregasi ras menyebabkan penurunan hak-hak sipil orang kulit hitam. Para penulis mencatat bahwa komunitas kulit hitam yang relatif terpisah sering diwakili oleh politisi yang gagal memilih kebijakan yang disukai oleh konstituen kulit hitam (Ananat dan Washington 2007). Ferguson mengilustrasikan konsep ini dengan baik. Meski 67 persen penduduknya berkulit hitam, hampir tidak ada tokoh politik berkulit hitam (Smith 2014). Secara bersama-sama, kurangnya suara dan peluang keluar berarti bahwa kelompok minoritas seringkali paling tidak mampu menghindari resiko dan konsekuensi yang merugikan dari pasukan polisi yang dimiliterisasi.
Jadi keburukan publik yang terkait dengan militerisasi polisi, penahanan massal, dan hukum pidana kemungkinan besar akan berdampak paling besar pada mereka yang sudah terpinggirkan. Ketika politisi memilih siapa yang akan dipertimbangkan dalam menyusun undang-undang yang akan menciptakan kerugian bersama untuk beberapa orang dan manfaat bersama untuk orang lain, mereka cenderung membebankan kerugian bersama tersebut pada orang dengan kulit berwarna.
Negara bukanlah kriminal yang baik hati, bukan malaikat, dan bukan unicorn. Daripada berasumsi bahwa polisi, penjara, dan pasukan militer negara akan secara kompeten menghasilkan layanan kebutuhan publik, kita harus mempertimbangkan kenyataan bahwa mereka menghasilkan banyak keburukan publik. Dan mengingat dampak yang menghancurkan dari keburukan publik ini terhadap beberapa orang yang paling rentan di masyarakat kita, kita harus mempertimbangkan solusi radikal. Kita harus mempertimbangkan solusi abolisionis.