Oleh: Jordan Jadine. Teks aslinya berjudul “Review: African Anarchism – The History of a Movement.” Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Ameyuri Ringo.
Sebagai seorang anarkis, Aku secara alami memiliki ketertarikan untuk mempelajari bukan hanya gerakan anarkis di Amerika, tapi juga di seluruh belahan dunia. Aku sangat menyukai Lao Tzu misalnya, dan juga penulis Tao Te Ching yang begitu sangat mempengaruhi para pemikir anarkis terkemuka seperti Peter Kroptokin dan Rudolf Rocker. Saya telah mempelajari beberapa aspek tentang gerakan anarkis di Tiongkok dan beberapa bagian lainnya dari Asia. Namun, sebagai pengagum kebudayaan Afrika, akhir-akhir ini aku memiliki minat untuk mempelajari gerakan anarkis di Afrika pula. Untungnya, ada satu kitab babon penting yang mendokumentasikan sejarah ini – dan termasuk kekurangannya – yaitu buku African Anarchism: The History of a Movement terbitan tahun 1997 yang ditulis oleh aktivis anarkis Nigeria Sam Mbah dan rekan penulisnya I.E. Igariwey.
Ringkasan:
Bab 1
Buku ini dimulai dengan penulis menjelaskan bahwa meskipun beberapa aspek dari kebudayaan dan tradisi Afrika memiliki kemiripan dengan nilai-nilai anarkisme, belum ada gerakan anarkisme yang benar-benar berhasil dicapai di Afrika karena karena masyarakat di benua ini bahkan tidak mengetahui bahwa aliran pemikiran anarkisme itu ada. Mbah dan Igariwey selanjutnya mengklarifikasi bahwa anarkisme bukanlah ideologi “kekacauan”, seperti yang sering ditampilkan di media arus utama. Sebaliknya, anarkisme lebih tentang penolakan terhadap penindasan dan penolakan terhadap pemaksaan kehendak oleh seseorang atau kelompok terhadap yang lainnya. Penulis juga menyertakan beberapa contoh pemikir anarkis terkenal seperti Peter Kroptokin, Mikhail Bakunin, dan Pierre-Joseph Proudhon dan juga menjelaskan beberapa aliran dalam anarkisme seperti anarko-sindikalisme dan mutualisme.
Bab 2
Pada bagian ini, penulis memberikan rangkuman yang cukup lengkap mengenai sejarah umum gerakan anarkis modern, yang dimulai pada pertengahan abad ke-19.
Bab 3
Pada bab ini, yang menjadi bab terpanjang di buku ini, Mbah dan Igariweh menjelaskan bahwa banyak unsur-unsur budaya masyarakat Afrika yang mirip dengan nilai-nilai anarkisme yang tidak disadari oleh masyarakat Afrika. Mereka menjelaskan bahwa banyak komunitas dalam sejarah Afrika hidup secara independen, berbasis swa-pemerintahan, dan sebuah entitas “komunalis” dimana setiap orang dalam komunitas tersebut mempunyai suara dalam setiap proses penentuan kebijakan yang berkaitan dengan urusan mereka baik yang bersifat individu maupun komunitas. Agama memainkan peran penting dalam banyak suku di Afrika, namun bersifat sangat desentralis. Ini mengakibatkan komunitas-komunitas ini hidup secara lebih setara alih-alih dipimpin oleh pemuka agama maupun politisi. Setiap (laki-laki) dewasa di komunitas berperan untuk menjalankan berbagai keperluan mendasar kemasyarakatan dan menyelesaikan setiap permasalahan mereka secara mandiri.
Masyarakat jenis ini berkembang selama berabad-abad di Afrika, namun pada awal abad ke-15, klasisme dan pembagian kerja secara perlahan mulai tumbuh di dataran Afrika. Meskipun elemen-elemen tertentu dari sistem komunal ala pedesaan masih bertahan, Afrika pada akhirnya berubah menjadi masyarakat feodal dan proto-kapitalis. Menariknya, Mbah dan Igariwey juga memberi catatan bahwa masyarakat komunalis Afrika pun sebenarnya masih jauh dari sempurna. Meskipun mereka jelas lebih egaliter dibandingkan struktur masyarakat Afrika saat ini, desa-desa dan suku-suku ini masih memperlakukan perempuan secara tidak setara dan bahkan perbudakan.
Namun, penulis melanjutkan dengan membuat daftar beberapa “masyarakat tanpa negara” yang ada di Afrika beberapa abad lalu. Mereka menjelaskan tiga kelompok etnik spesifik yang berjalan secara horizontal dan non-hirarkis di masa lalu: Suku Igbo di Nigeria, Masyarakat di Delta Niger (yang juga dari Nigeria), dan suku Tallensi di Ghana. Penulis juga mengutip slogan lama suku Igbo yang menjadi bukti komitmen mereka terhadap desentralisasi: “Igbo tidak memiliki raja.” Masyarakat Igbo berjalan dan dikelola oleh sebuah majelis umum, sebuah dewan tetua, dan bahkan dewan khusus wanita yang disebut sebagai Umu-Ada. Menurut Mbah dan Igariwey, majelis umum masih ada di masyarakat Igbo hingga saat ini. Suku Igbo mempraktikan pertanian komunal dan mampu menumbuhkan cukup tanaman dengan jangka waktu yang cukup cepat untuk memberi makan semua anggota suku.
Penulis melanjutkan dengan membahas secara singkat masyarakat Delta Niger, yang sebagian besar merupakan petani dan pedagang. Beberapa kelompok masyarakat Delta Niger mengorganisir diri mereka dengan cara yang lebih tertutup dibandingkan orang-orang Igbo. Meskipun suku Igbo juga memiliki perkumpulan rahasia, beberapa kelompok tertentu di Delta Niger harus lebih tertutup untuk menghindari gejolak perdagangan budak pada abad ke-17 dan ke-18. Kebalikannya, beberapa kelompok lain, justru sangat aktif terlibat dalam perdagangan budak. Pada akhirnya, perdagangan budak benar-benar menghancurkan masyarakat Delta Niger dan sistem “rumah” mereka – yang terdiri dari petani atau pedagang budak, budak-budaknya dan keturunan dari budak dan petani atau pedagang yang pada gilirannya akan diorganisir menjadi negara-kota – dan korporasi kapitalis mulai terbentuk, mengakhiri komunalisme di Delta Niger secara permanen.
Mbah dan Igariwey selanjutnya membahas orang-orang Tallensi dari Ghana utara, yang masih terus ada sampai saat ini. Mereka merupakan masyarakat berbasis klan yang sebagian besar terdiri dari petani. Meskipun korporasi secara teknis ada di masyarakat Tallensi, penulis mengklaim bahwa klan kaya tidak memiliki otoritas apapun terhadap klan lain yang lebih miskin dan tidak memiliki akses terhadap privilej politik istimewa apapun, Orang-orang Tallensi telah melakukan mekanisme yang sangat baik dalam memelihara masyarakat berdasarkan egalitarianisme sosial dan politik tanpa campur tangan negara atau lembaga terpusat apapun.
Puncaknya, penulis membahas gerakan-gerakan “sosialis” yang melahirkan berbagai pemimpin terkemuka seperti Patrice Lumumba, Muammar Gaddafi, Gamal Abdel Nasser, dan Kwame Nkrumah. Mbah dan Igariwey mengakui bahwa tokoh-tokoh ini, mempraktekan “sosialisme” berbasis negara ala Soviet, yang terkadang disebut sebagai “Sosialisme ala Afrika,” dan para tokoh-tokoh ini serta ideologi mereka telah menjadi sasaran kritik oleh banyak orang sejak dahulu. Mereka berargumen bahwa tokoh-tokoh ini gagal untuk mencapai apapun yang mendekati sosialisme dan merupakan monster otoriter yang haus darah dan hanya tertarik pada kekuasaan. Mbah dan Igariwey menutup bab ini dengan menunjukan contoh-contoh baik teoritik maupun praktis terbaru dari anarkisme di Afrika, termasuk sebuah gerakanyang muncul pada 1960an, tepat setelah Nigeria merdeka dimana beberapa faksi-faksi kiri dalam pemerintahan baru Nigeria memutuskan untuk mendirikan beberapa kelompok komunitas ala Kibbutz di Israel. Sayangnya, upaya ini gagal pula, terutama diakibatkan kekacauan karena Perang Sipil Nigeria 1967.
Teori Internasionalisme Ketiga milik Muammar Gaddafi, Filosofi Ujamaa (kekeluargaan atau persaudaraan) ala Julius Nyerere, dan pandangan anti-kolonialisme tegas Franz Fanon dan dukungannya terhadap semua pekerja, termasuk buruh tani dan penolakannya terhadap bantuan apapun dari negara adalah beberapa contoh lain dari advokasi tanpa negara di Afrika.
Secara praktis, contoh nyata organisasi anarkis yang dipaparkan oleh penulis adalah Anarchist Revolutionary Movement dan The Angry Brigade yang berbasis di Afrika Selatan, dan The Awareness League, sebuah grup asal Nigeria yang didirikan tepat setelah pembubaran The Axe. Ada pula gerakan lain yang mulai tumbuh di Mesir, Ghana, dan Zimbabwe. Mbah dan Igariwey juga menyatakan bahwa salah satu contoh organisasi anarkis terawal di Afrika adalah Industrial Workers of Afrika yang berbasis di Afrika Selatan yang aktif pada periode 1915 hingga 1922 yang didominasi oleh pekerja kulit hitam.
Bab 4
Pada bab ini, penulis menjelaskan secara detail perkembangan sosialisme di Afrika. Penulis menjelaskan bahwa pada awal abad ke-19, para kapitalis kolonial awal “mengkooptasi” para kepala suku dan bangsawan “untuk menjadi birokrat bagi para penjajah” (Hlm. 55). Pertambangan dan industri kemudian dikenalkan ke benua ini, menciptakan sebuah kelas baru, kelas pekerja perkotaan. Namun, masih banyak petani yang hidup di daerah perdesaan. Sayangnya, tidak semua penduduk perkotaan Afrika cukup beruntung untuk mendapatkan pekerjaan dan dipaksa untuk mengemis atau terlibat prostitusi untuk mendapatkan penghidupan.
Struktur kelas yang berkembang di Afrika mulai memburuk pada abad ke-20 ketika antagonisme kelas mulai mendominasi kehidupan kelas pekerja di Afrika. Hal ini mengakibatkan mereka menutup mata terhadap eksploitasi yang mereka lakukan dan fakta bahwa sebagian besaar hasil kerja mereka bahkan tidak dibagikan kepada bangsanya sendiri, tapi kepada penguasa kolonial. Salah satu konsekuensi dari “situasi kolonial” ini adalah tumbuhnya gerakan serikat pekerja di negara-negara seperti Nigeria dan Afrika Selatan, termasuk Algeria, Kenya, dan Ghana. Penulis kemudian menyoroti momen penting dalam gerakan serikat pekerja Nigeria, dari kemunculannya pada sekitar tahun 1897 hingga masa Depresi Besar dan berlanjut pada era yang lebih modern seperti tahun 1980an. Sayangnya, menurut penulis, meskipun gerakan serikat pekerja Nigeria telah melakukan beberapa hal yang bagus selama lebih dari 1 abad keberadaannya, para elit serikat nyaris selalu memiliki konflik kepentingan untuk mempertahankan “hubungan dekat” dengan para elit Nigeria.
Sedangkan di Afrika Selatan, beberapa serikat pekerjanya lebih kuat dan berhasil dibandingkan Nigeria. Serikat Penambang Afrika Selatan, misalnya, membentuk Dewan Aksi Penambang pada tahun 1921 yang memicu upaya para sindikalis (yang juga merupakan anggota IWW) untuk membentuk apa yang mereka sebut Republik Pekerja Merah. Para pekerja Afrika Selatan yang terlibat dalam pemogokan dan berbagai aksi lainnya untuk mewujudkan Republik Pekerja Merah kebanyakan berasal dari sektor tambang, energi, dan permesinan.
Sayangnya, gerakan pekerja Afrika Selatan sangat terhambat oleh konflik rasial seiring berlalunya abad ke-20 dan apartheid menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di negara tersebut. Aktivis pekerja kulit hitam terus melanjutkan perjuangan untuk hak-hak mereka hingga tahun 1970-1980an dan berhasil mendapatkan beberapa kemenangan meski tanpa dukungan dari African National Congress (ANC), yang dikritik oleh penulis sebagai bukti bahwa ANC tidak memiliki “tujuan politik yang jelas” (Hlm. 65). Penulis juga mengkritik Partai Komunis Afrika Selatan yang meninggalkan komitmen mereka terhadap kemungkinan-kemungkinan politik yang lebih revolusioner dan terlalu berpuas diri dengan status quo kapitalis di Afrika Selatan yang ada saat ini.
Penulis melanjutkan kritiknya kepada gerakan buruh yang dianggap “revolusioner” di Guinea yang aktif sejak akhir abad ke-19 hingga sekitar tahun 1958 ketika Guinea merdeka dari Perancis dan membentuk pemerintahan “revolusioner” yang selanjutnya menghabisi semua perbedaan pendapat dan kritik.
Bab 5
Pada bab ini, pentingnya pertumbuhan ekonomi didiskusikan. Menurut Mbah dan Igariweyy, kebutuhan akan pembangunan ekonomi diyakini secara luas sebagai salah satu alasan mengapa sosialisme belum mencapai kesuksesannya di Afrika. Pemerintah mengeksploitasi hal ini untuk kepentingan mereka sendiri dan memunculkan istilah seperti “sosialisme ala Afrika” untuk menyebut ideologi mereka, yang sebenarnya hanya campuran antara otoritarianisme dan korupsi, serta tidak memiliki kaitan apapun dengan sosialisme. Sekou Toure (Guinea), Samuel Nkrumah (Ghana), Julius Nyerere (Tanzania), Thomas Sankara (Burkina Faso), Menghistu Haile Mariam (Ethiopia), dan masih banyak lainnya merupakan contoh dari para pemimpin negara yang menggunakan retorika ini untuk membenarkan rezim otoriter mereka.
Penulis mengatakan bahwa akar permasalahan ekonomi dan pembangunan di Afrika, tentu saja, karena mereka perlu untuk pulih dari dampak-dampak kolonialisme di masa lalu. Penulis menyatakan bahwa akademisi dan penulis terkenal Frantz Fanon secara akurat meramalkan bahwa akan banyak orang Afrika dari daerah miskin pada akhirnya akan berpaling dari masyarakatnya sendiri ketika kondisi mereka membaik dan kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin melebar pada masyarakat Afrika.
Menurut Mbah dan Igariwey, bertentangan dengan yang banyak dipercayai orang, kediktatoran militer, terutama di Afrika, cenderung lebih tidak stabil dibandingkan pemerintahan yang direbut melalui pemberontakan sipil. Mereka mengambil Ghana dan Nigeria sebagai contoh spesifik negara yang mengalami lingkaran korupsi dan ketidakstabilan politik. Ketidakstabilan politik ini kemudian diperburuk pula dengan intervensi dari organisasi neo-kolonial seperti Bank Dunia dan IMF. Karena putus asa dalam menghindari kebangkrutan, negara-negara Afrika sering kali berlutut pada lembaga-lembaga tersebut dan memotong banyak layanan publik, sehingga membuat masyarakat semakin tidak bahagia, yang tentu saja akan menyebabkan lebih banyak ketidakstabilan. Penulis juga berargumentasi bahwa situasi yang kacau seperti ini adalah situasi yang tepat bagi gerakan anarkis untuk dapat tumbuh, namun masih terdapat hambatan besar yang perlu diatasi sebelum hal tersebut terjadi. Meski begitu, masih ada harapan.
Bab 6
Anarkisme merupakan topik yang sangat jarang dibahas di Afrika. Berbeda dengan di Amerika atau banyak tempat lain di dunia, di Afrika, hanya beberapa orang saja yang mengetahui anarkisme dan cenderung menganggapnya sebagai gagasan yang gila, aneh, dan ultra-kiri yang tidak perlu dianggap sebagai hal yang serius. Menurut penulis, ini diakibatkan oleh beberapa faktor, termasuk sistem pendidikan Afrika, yang hingga saat ini, sangat terpengaruh bekas penjajahnya. Dan tentu saja, ini hanya menghitung para pelajar yang dididik dalam pengertian modern. Pada umunya, hanya beberapa orang saja di Afrika yang mempunyai kesempatan untuk bersekolah di sekolah yang layak. Singkatnya, masih banyak warga Afrika yang tidak mendapatkan pendidikan komprehensif, dan mereka yang mendapatkan pendidikan telah disesatkan atau tidak diajarkan sama sekali tentang topik-topik seperti anarkisme dan sosialisme.
Masalah lain yang dibahas oleh penulis pada bab ini adalah sistem hukum yang ada di banyak negara Afrika. Banyak negara di benua ini memiliki undang-undang yang mengkategorikan berbagai bentuk aksi dan advokasi untuk menggulingkan pemerintahan atau mengganti status-quo negara sebagai bentuk pengkhianatan terhadap negara, yang dapat diberikan hukuman mati, sehingga bahkan orang-orang Afrika yang mungkin setuju dengan tendensi yang lebih radikal pun terintimidasi untuk diam karena takut akan pembalasan atau eksekusi di tangan negara. Banyak negara Afrika, utamanya yang dibawah kediktatoran militer, sangat keras terhadap serikat pekerja dengan membatasi kekuatan dan pengaruhnya, atau bahkan dalam kondisi terburuk, mereka akan dihancurkan.
Masalah lain yang dihadapi anarkisme di Afrika adalah banyak kelompok etnis. Meskipun pekerja di seluruh benua memiliki posisi dan kepentingan kelas yang sama, perbedaan etnis dan budaya telah menjadi penghalang besar untuk membangun solidaritas antara mereka, Kenyataan ini telah dieksploitasi dan dimanfaatkan baik oleh korporasi maupun kediktatoran militer di banyak negara untuk menghancurkan gerakan pekerja dan menerapkan kebijakan yang lebih kejam.
Lebih lanjut, adanya larangan dari kelompok agama untuk mempertanyakan otoritas pemerintah dan kepercayaan akan adanya surga setelah mati nanti juga menjadi alasan lain mengenai mengapa anarkisme masih gagal di Afrika. Menurut penulis, budaya banyak bangsa Afrika cenderung sangat konservatif atau reaksioner, mendidik kebanyakan masyarakat untuk menerima status quo dan tunduk pada otoritas tanpa membantah. Penulis mendorong adanya “solidaritas internasional” dari bagian lain dunia untuk membantu gerakan anarkis Afrika.
Bab 7
Bab terakhir buku ini menegaskan kembali keyakinan penulis bahwa anarkisme merupakan solusi terhadap banyak masalah di Afrika yang masih terus berlangsung hingga saat ini seperti kekerasan, ketidaksetaraan, dan korupsi. Meskipun bersimpati terhadap banyak gerakan nasionalis dan patriotis yang ada di banyak negara di benua tersebut, Mbah dan Igariwey berpendapat bahwa gerakan ini hanya memperburuk ketegangan antar komunitas dan tidak membantu sama sekali dalam perjuangan jangka panjang untuk pembebasan atau kesejahteraan Afrika. Penulis menyatakan bahwa kapitalisme dan “sosialisme” negara telah gagal di Afrika, sama seperti di banyak negara lainnya, sehingga Afrika tidak memiliki alternatif lain selain anarkisme sebagai model pengorganisasian yang layak.
Pendapatku:
Buku ini mencoba untuk menjelaskan semua masalah dalam halaman sesingkat mungkin. Buku ini hanya sepanjang 108 halaman, namun dilengkapi dengan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan dan ditulis dengan baik. Pada awalnya, saya ingin memisahkan pendapatku dalam bagian positif dan negatifnya, tapi ternyata aku tidak menemukan banyak bagian negatif untuk dijelaskan. Satu-satunya kritikku adalah buku ini terlalu akademik dan agak membosankan. Saya pikir bahwa penulis harusnya bisa melakukan beberapa hal untuk membuat buku ini lebih menarik dan mudah dipahami. Dengan kata lain, buku ini lebih nampak ditulis sebagai esai ilmiah atau disertasi dibandingkan buku untuk masyarakat umum. Selain masalah tersebut, tidak ada hal lain yang kurang dari buku ini. Buku ini masih dapat sangat saya nikmati dan begitu informatif. Saat ini hanya ada sedikit literatur mengenai anarkisme di Afrika, namun African Anarchism: The History of a Movement merupakan buku yang tepat untuk memulainya.
Meskipun buku ini ditulis pada 1997, banyak masalah yang dibahas oleh Mbah dan Igariwey di buku ini masih terus relevan hingga saat ini. Buku tipis ini dapat memberikan wawasan yang sangat luar biasa bahkan kepada kaum anarkis yang paling cerdas sekalipun mengenai Afrika dan hubungannya dengan anarkisme dan gerakan buruh. Saya belajar banyak darinya dan saya berharap lebih banyak pembaca juga mengalami hal yang sama.
Sebagai sedikit pembaruan informasi mengenai beberapa negara yang dibahas dalam artikel ini, saat ini, salah satu kelompok anarkis paling menonjol di Afrika Selatan adalah Zabalaza Anarchist Communist Front (ZACF) yang didirikan pada 2003. Di Mesir, pasca Musim Semi Arab, dua kelompok anarkis terbentuk pada 2011: Blag Flag dan Egyptian Libertarian Socialist Movement. Terjadi pula peningkatan pemahaman dan kepopuleran anarkisme di Tunisia semenjak Musim Semi Arab. Dan terakhir, semenjak kudeta menggulung Robert Mugabe dari kekuasaannya pada 2017, gerakan anarkis di Zimbabwe mulai membangun gerakan yang lebih terorganisir di negara tersebut.
Seluruh hasil publikasi didanai sepenuhnya oleh donasi. Jika kalian menyukai karya-karya kami, kalian dapat berkontribusi dengan berdonasi. Temukan petunjuk tentang cara melakukannya di halaman Dukung C4SS: https://c4ss.org/dukung-c4ss.