Negaraisme dan Ilusi Pemilihan

Oleh: Sebastian A. Stern. Teks aslinya berjudul “Statism and the Illusion of Choice.” Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Ameyuri Ringo.

Support Ringo by considering becoming his Patron.

“Kekuasaan bukanlah untuk ditaklukan, tapi untuk dihancurkan. Ia bersifat menindas secara alami, entah ketika ia dimiliki oleh seorang raja, diktator, atau presiden yang dipilih. Perbedaannya pada ‘demokrasi’ parlementer adalah para budak moderen kini terjebak pada ilusi untuk bebas memilih penguasa yang harus mereka taati. Pemilihan umum telah menjadikan mereka sebagai kaki tangan dari tirani yang menindasnya. Mereka tidak menjadi budak karena adanya penguasa, tetapi penguasa terus ada karena para budak memilih untuk terus menjadi budak.” – Jean-François Brient

Negara menurut Max Weber, merupakan entitas yang mengklaim memiliki legitimasi atas monopoli penggunaan kekerasan terhadap wilayah tertentu. Pendekatan Hobbes, Rousseau, dan Locke memahami bahwa negara lahir dari dunia yang penuh kekacauan melalui kontrak sosial yang secara kebetulan memberikan kekuasaan kepada sekelompok orang (demi kebaikan banyak orang, tentunya).

Hal yang lucu adalah, tidak ada yang bisa menunjukan secara spesifik kapan negara mulai muncul. Mungkin itu adalah tempat seperti Çatalhöyük (sekitar 7500 SM) atau Sumeria (sekitar 2900 SM)—di mana masyarakat hirarkis dibangun berdasarkan kekuatan dan doktrin agama. Monarki, kekaisaran, dan republik pertama — mendapatkan kekuasaan melalui kekerasan dan legitimasi dari kesalahan yang tak terelakkan. Hak-hak yang tidak dapat dicabut tidak pernah terdengar – jika Anda menghujat Tuhan (atau salah satu birokratnya di Vatikan) pada era Kekaisaran Romawi Suci, kalian dapat dikucilkan dan orang tolol mana pun dapat membunuh kalian kapan saja. Pemerintah adalah kekuasaan dari beberapa orang atas orang lain, tidak lebih. Begitu pula dengan Amerika Serikat—yang, seperti yang ditunjukkan oleh catatan sejarah, dibangun dari kerja paksa yang mendapatkan legitimasi dari kepercayaan yang mendalam terhadap supremasi moral kulit putih. Dalam beberapa hal, hal itu masih berlaku hingga saat ini.

Para pemilih menaruh harapannya kepada Raja-Tuhan yang baru yang disebut Presiden, dan berharap para sosiopat ini akan membebaskan mereka dari perbudakan.

Salah satu kemampuan khas negara adalah pajak, atau perampasan harta secara paksa untuk digunakan dengan cara yang tidak akan digunakan oleh korbannya. Ketika kelompok lain merampas kekayaanmu (atau uang, yang sederajat dengan waktu ditambah energi), itu akan disebut pencurian. Fasilitas publik seperti jalanan, sekolah, dan jaminan kesehatan sejatinya dapat dan akan lebih baik ketika disediakan oleh pasar. Negara hanya memiliki sedikit insentif untuk menyediakan sebuah produk yang berkualitas baik karena tidak memiliki saingan. Proyek-proyek yang padat modal tidak ditangani dengan lebih baik oleh negara karena penyebaran tanggung jawab dan ketidakjelasan birokrasi. menurut David Graeber, dalam bukunya yang terbit pada 2011, Debt: The First 5,000 Years, pajak adalah bentuk pemerasan dibawah todongan senjata, sebuah upeti yang diberikan kelompok yang kalah kepada prajurit penakluknya.

Satu-satunya cara untuk dapat menjustifikasi pajak adalah dengan mengambil kembali keuntungan monopoli yang “diperoleh” (dicuri) oleh kelas yang telah menguasai mesin negara (kapitalis). Tetapi redistribusi kekayaan tidak menyentuh akar permasalahan: hak istimewa yang dijamin oleh negara yang diberikan kepada kelas kapitalis yang memiliki koneksi politik. Kapitalisme tidak dapat disamakan dengan pasar bebas, yang telah ada dalam berbagai bentuk (termasuk pertukaran yang benar-benar bebas, seperti ekonomi hadiah Marcel Mauss) sepanjang sejarah manusia.

Meski kontroversial, sistem saat ini, kapitalisme-negara baru ada sejak Periode Modern Awal. Mengutip Gary Chartier dalam Pasar Bukan Kapitalisme, sistem ini merupakan bentuk simbiosis antara bisnis besar dan pemerintah, dimana apa yang disebut sebagai tempat kerja dikendalikan oleh seorang individu yang dipanggil majikan. Bukanlah sesuatu yang tak terelakkan bahwa kita harus hidup dalam sebuah sistem di mana terdapat lebih banyak rumah kosong daripada jumlah tunawisma, atau bahwa terdapat kelas pekerja yang secara permanen jatuh miskin.

Para pemilih meletakkan harapannya pada Tuhan-Raja yang disebut Presiden, dan berharap mereka akan membebaskan dari perbudakan. Ini sangat lucu, karena para penguasa sejatinya berasal dari kelas elit yang sama dan pada dasarnya memiliki ideologi yang sama dengan para penguasa sebelumnya. Ada beberapa pengecualian seperti – Presiden yang besar dalam kemiskinan, tetapi menjadi kaya sebelum pelantikannya dan menjalankan kebijakan yang berpihak pada kaum elit. Ia tidak akan bisa menjadi presiden tanpa harus menjual dirinya kepada kepentingan korporasi karena kebutuhan akan pendanaan kampanye. Kegilaan ini terus dilakukan berulang kali sambil mengharapkan hasil yang berbeda.

Bagaimana dengan Para Kaum Miskin?

Belum lagi kolonialisme dan imperialisme—yang menjadi bukti kebiadaban negara, kebijakan yang menjadi penyebab utama banyaknya kemiskinan di dunia—kapitalisme membutuhkan kemiskinan agar dapat terus berfungsi. Seseorang harus melakukan pekerjaan kotor, menjadi serdadu, dan menundukkan diri kepada orang lain dengan imbalan upah yang rendah.

Jaring pengaman sosial/kesejahteraan yang diberikan kepada kaum miskin hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok; sesuatu yang disebut para Marxis sebagai opium das volkes, sebagai obat penenang yang akan mencegah revolusi radikal yang akan mengancam hak istimewa dari para kapitalis yang diberikan negara (Marx adalah kritikus yang jenius tetapi pemecah masalah yang buruk – kekerasan negara tidak dapat diperbaiki dengan menambah kekuasaan negara). Mendukung negara kesejahteraan merupakan hal yang rasional dari sudut pandang reformasi, namun tidak dapat dijadikan sebagai tujuan akhir. Akan tetapi, pertanyaan yang lebih mendalam adalah sebagai berikut: mengapa ada begitu banyak orang orang yang bekerja tetap miskin, sementara ada sekelompok orang yang tidak perlu bekerja sama sekali tetapi malah mendapati diri mereka kaya raya?

Yesus tidak menciptakan negara kesejahteraan sebagai perbuatan bajiknya. Tetapi para penguasa lah yang menggunakan secuil kekayaan mereka untuk menyuap rakyat berdasarkan logika struktural-fungsionalis: untuk menjaga agar sistem tetap berjalan dan membeli kesetiaan dari rakyat. Pada 1870an, Otto von Bismarck melemahkan gerakan Sosialis Jerman dengan menawarkan beberapa konsesi, ia berkata “inti dari ide saya adalah untuk menyuap kelas pekerja, atau dapat dikatakan untuk menenangkan mereka semua, agar mereka menganggap negara sebagai lembaga sosial yang ada demi mereka dan peduli pada kesejahteraan mereka. Hingga saat ini, kaum tertindas masih percaya bahwa negara memperhatikan mereka. Kenyataannya adalah negara lah yang menghancurkan kaki kaum miskin dan kemudian memberikan sedikit kompensasi yang didapatkan melalui pajak.

Kekerasan Negara

Kekerasan negara diajukan sebagai solusi atas konsekuensi intervensi negara di masa lalu, seperti berikut ini:

1. Pembentukan badan hukum yang disebut perseroan terbatas, yang membebaskan para kapitalis dari kejahatan dan melindungi kekayaan pribadi mereka dari hukuman hukum.

2. Subsidi negara terhadap korporasi-korporasi yang memiliki hubungan politik seperti Wal-Mart, Monsanto, Halliburton, Lockheed-Martin, Goldman Sachs, dan Exxon. Perusahaan-perusahaan ini mengeksternalisasi skala disekonomis mereka kepada para pembayar pajak, melalui penggunaan jalan raya yang tidak proporsional, penelitian pemerintah, dan paten monopoli (yang menghilangkan akses masyarakat terhadap obat generik yang penting, misalnya).

3. Melemahkan dan mengkooptasi serikat pekerja, secara aktif menekan mode produksi yang dimiliki pekerja (swakelola pekerja). Di Pemilihan AS 2008, baik Romney maupun Obama lebih mendukung model korporasi, meskipun ada banyak bukti bahwa perusahaan yang dimiliki oleh pekerja jauh lebih efisien (tidak ada biaya pengawasan dan pekerja memiliki insentif untuk meningkatkan pendapatan saat mereka berbagi keuntungan).

4. Lembaga-lembaga pengawasan palsu seperti FDA, EPA, USDA, dan SEC yang melindungi korupsi dengan kedok perlindungan konsumen/pembayar pajak. Mereka layaknya serigala yang tengah menjaga kandang ayam.

5. Dan jangan lupakan: imperialisme, wajib militer, dan pembunuhan massal. CIA, industri militer, FBI, NSA, Kepolisian, TSA, dan DEA.

6. Pemaksaan monopoli atas percetakan mata uang fiat, yang nilainya ditentukan oleh kemampuan pemerintah untuk mengenakan pajak di masa depan. Mata uang ini nilainya akan terus berkurang ketika dicetak semakin banyak, yang mentransfer daya beli dari mereka yang menerima uang baru terakhir kepada mereka yang menerimanya sebelum beredar (Efek Cantillon). Dalam kasus ini, bank-bank anggota Federal Reserve adalah penerima manfaat. Ini sejatinya adalah pajak yang tidak terlihat.

Ilusi Pilihan dan Pemilihan Presiden

Pertempuran elektoral sengit digelar setiap empat tahun untuk menyandingkan dua kandidat presiden yang nampak seperti dua kutub yang saling bertolak belakang, layaknya Zeus dan Hades. Namun lupakan itu semua, mereka sama saja. Saat perang retorika terjadi dan didanai dengan uang korporasi, isu yang benar-benar substantif tidak pernah diangkat karena kedua tim memiliki kepentingan dalam menjaga statist quo.

Tak ada satupun kandidat presiden yang menyebutkan imperialisme Amerika yang telah berlangsung berabad-abad, dengan 700 pangkalan militer yang tersebar di seluruh dunia, atau fakta bahwa negara ini menghabiskan lebih banyak uang untuk mendanai industri militer dibandingkan gabungan 19 pagu anggaran belanja negara. Mereka justru menarget isu-isu sosial seperti hak seseorang untuk menikahi siapapun yang mereka inginkan. Di dalam sistem anarkis, pernikahan dilangsungkan di luar negara; pasangan tidak membutuhkan persetujuan dari negara untuk mendapatkan legitimasi atas pernikahannya.

Negara-korporasi adalah lembaga yang mendominasi modernitas. Logika tentang keharusan dan keniscayaan negara didasarkan pada banyak premis yang belum pernah dipecahkan. Asumsi-asumsi ini harus dipertanyakan; jika tidak, para intelektual penguasa dan demagog akan mengalihkan perhatian kita terhadap reformasi negara yang sejatinya layaknya tengah menata ulang kursi di kapal Titanic yang akan tenggelam. Seperti yang ditulis Noam Chomsky, “Cara terbaik untuk membuat orang-orang tetap diam dan tunduk adalah dengan membatasi secara ketat spektrum pendapat yang dapat diterima, tetapi memperbolehkan perdebatan yang sangat hidup di dalam spektrum tersebut.”

Media selalu menyatakan setiap pemilihan sebagai Pemilu paling penting dalam sejarah. Mereka yang benar-benar mempelajari sejarah politik menyadari bahwa platform-platform tersebut telah bercampur dan saling terkait—bergerak tanpa henti ke arah negaraisme. Kiri dan kanan mungkin berseberangan, tapi keduanya berbagi karakter otoritarianisme yang sama. Sebagai contoh, semua kandidat mendukung National Defense Authorization Act – yang mencabut hak warga Amerika untuk diadili di hadapan juri dan memungkinkan penahanan tanpa batas waktu. Lebih jauh lagi, kedua belah pihak tunduk pada kuasa sektor keuangan, yang dilakukan melalui Federal Reserve.

Selama pemilihan, baik Romney maupun Obama hanya memiliki sedikit perbedaan pada beberapa isu substantif, dan satu kandidat mungkin terlihat sedikit lebih baik dibanding lawannya. Namun, dipaksa untuk memilih antara dua kandidat ini layaknya dipaksa untuk memilih racun mana yang akan kita telan, sianida atau arsenik; dimana orang-orang akan tetap mati pada akhirnya.

Obama adalah presiden yang militeristik. Misalnya, Obama memerintahkan serangan drone yang membunuh Anwar al-Aulaqi (seorang penduduk AS di Yaman) pada September 2011. CIA membunuh anaknya yang baru berusia 16 tahun dua minggu kemudian. Tidak ada proses hukum – Presiden dapat secara bebas membunuh seorang warga negara AS di luar negaranya.

Ketika ada seseorang yang membunuh orang lain, itu akan menjadi kejahatan yang keji. Namun ketika negara yang membunuh seseorang, itu akan menjadi kebaikan bersama dan sering kali dirahasiakan karena dianggap sebagai “alasan keamanan nasional.”

Semua laki-laki di usia militer (18-35 tahun) akan dinyatakan sebagai militan oleh militer AS kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Menurut Biro Investigasi Jurnalisme, sejak 2004 hingga 2012, sekitar 2.562 sampai 3.325 orang terbunuh akibat serangan drone di Pakistan saja. AS juga melakukan operasi drone di Afghanistan, Irak, Yaman, dan Somalia. 474 sampai 881 yang terbunuh dalam serangan di Pakistan merupakan masyarakat sipil, termasuk 176 anak-anak. Lebih dari 1.300 orang terluka parah. Angka-angka ini nampak cukup rendah karena pemerintah Pakistan dan AS bersama-sama berusaha untuk menyembunyikan pembantaian tersebut.

Mengapa kita harus memberikan lebih banyak kekuasaan kepada mereka yang telah bersenjata dan berharap mereka menyelesaikan masalah kita? Kita membutuhkan solusi berbasis manusia. Kita harus menggali hingga ke akarnya, yaitu kapitalisme-negara itu sendiri; atau sistem ekonomi dimana kekuasaan negara melindungi klaim atas kepemilikan yang tidak sah dan menciptakan kelangkaan buatan untuk memaksimalkan keuntungan. Negara adalah yang memungkinkan kapitalisme (bukan pasar) berkuasa.

Negara dan kelas kapitalis tidak berada dalam posisi bertentangan, dan Amerika bukanlah “pasar bebas” sama sekali. Korporasi besar membenci pasar bebas sejati – para kapitalis lebih menyukai merkantilisme. Kecuali kalian bagian dari kelas penguasa, kalian harus melakukan apapun yang kalian bisa untuk mendorong paradigma non-negara dan anti-kekerasan – karena negara memiliki kecenderungan buruk untuk mengurung orang-orang tertentu dan kalian tidak akan pernah tahu siapa yang akan menjadi korban berikutnya.

Seluruh hasil publikasi didanai sepenuhnya oleh donasi. Jika kalian menyukai karya-karya kami, kalian dapat berkontribusi dengan berdonasi. Temukan petunjuk tentang cara melakukannya di halaman Dukung C4SS: https://c4ss.org/dukung-c4ss.

Anarchy and Democracy
Fighting Fascism
Markets Not Capitalism
The Anatomy of Escape
Organization Theory