Oleh: Trevor Hauge. Teks aslinya berjudul “Anti-Zionism Isn’t Enough.” DIterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Ameyuri Ringo.
Kita harus menentang segala bentuk nasionalisme
Dalam situasi politik kita saat ini yang dipenuhi kebohongan, segala macam kritik terhadap Zionisme akan segera dilabeli sebagai anti semitisme oleh media sayap kanan maupun liberal moderat. Misalnya yang terjadi pada Ilhan Omar, seorang anggota dewan AS yang meski telah berulang kali meminta maaf dan mengklarifikasi maksud dari pernyataannya yang menentang kejahatan perang Israel, terus menerus dilabeli sebagai pendukung terorisme atau anti-semit. Padahal mengkritik nasionalisme dan kolonialisme Israel bukanlah bentuk anti semitisme, sama seperti ketika kita mengkritik Partai Komunis Tiongkok bukan berarti kita anti-Tiongkok. Menggunakan pemahaman tersebut merupakan bentuk dari rasisme karena pemahaman tersebut berakar dari gagasan bahwa rakyat dan negara merupakan hal yang sama. Pada kenyataannya, rakyat dan negara adalah dua hal yang sangat berbeda. Renungkan apa yang telah dikatakan Rudolph Rocker mengenai masalah ini dalam bukunya, Nationalisme and Culture:
Suatu masyarakat adalah hasil alami dari persatuan sosial, sebuah asosiasi timbal balik antara manusia yang muncul dari kesamaan tertentu dalam kondisi kehidupan eksternal, bahasa yang sama, dan karakteristik khusus yang disebabkan oleh iklim dan lingkungan geografis. Dengan cara ini muncullah ciri-ciri umum tertentu, yang hidup dalam diri setiap anggota persatuan, dan membentuk bagian terpenting dari keberadaan sosialnya. Hubungan batin ini dapat ditumbuhkan secara artifisial maupun dihancurkan secara artifisial. Di sisi lain, negara adalah hasil artifisial dari perebutan kekuasaan politik, sebagaimana nasionalisme tidak pernah menjadi apa pun selain agama politik negara modern. Kepemilikan suatu negara tidak pernah ditentukan, seperti halnya kepemilikan suatu bangsa, oleh sebab-sebab alamiah yang mendalam; hal itu selalu tunduk pada pertimbangan politik dan didasarkan pada alasan-alasan negara yang dibaliknya ada kepentingan-kepentingan minoritas yang istimewa selalu bersembunyi. Sekelompok kecil diplomat yang hanyalah wakil bisnis dari kasta dan kelas yang memiliki hak istimewa memutuskan secara sewenang-wenang keanggotaan nasional dari kelompok-kelompok manusia tertentu, yang bahkan tidak diminta persetujuannya, tetapi harus tunduk pada penggunaan kekuasaan ini karena mereka tidak dapat berbuat apa-apa.
“Rakyat” atau masyarakat merupakan sebuah kelompok individual yang bersatu dan karena seiring berjalannya waktu, kemudian membentuk kesamaan budaya. Ini merupakan jejaring organik dari kelompok afinitas dengan kebudayaan yang berkembang secara bebas dan alamiah, yang dapat berganti dan berkembang seiring waktu. Rakyat tidak memiliki suatu “esensi” asli yang ada di dalam dirinya, dan tidak ada suatu kekuatan yang bersifat memaksa yang digunakan untuk mempertahankan suatu masyarakat. Sedangkan negara-bangsa merupakan sekelompok elit yang mampu memaksa banyak orang untuk tunduk di bawah satu rezim militer yang lalim dengan tujuan untuk menciptakan dan menjaga identitas yang artifisial dan tunggal. Semakin nasionalis sebuah negara, maka semakin negara tersebut memandang para rakyatnya sebagai bongkahan tanah liat yang dapat dijadikan bahan eksperimen untuk membentuk konsep kebudayaan yang diinginkan. Negara-bangsa tidak mengakui masyarakat sebagai masyarakat, dan bahkan tidak mengakui bahwa masyarakat berevolusi dan berubah seiring berjalannya waktu. Mereka menghendaki untuk dapat mengubah, mencetak, dan mencegahnya untuk dapat berevolusi atau berkembang. Hal ini dapat berupa rezim sekuler maupun teokratik, dan hasilnya akan sama saja. Mereka tidak bertanya tentang apa yang ada dengan pikiran terbuka dan menerima, melainkan mendiktekan apa yang harus dilakukan dengan kepalan tangan. Negara-bangsa pada dasarnya merupakan proyek kolektivis otoriter.
Kita bisa melangkah lebih jauh dan memisahkan individu dari masyarakat. Meskipun semua manusia tentu saja dipengaruhi oleh komunitasnya, dan dibentuk oleh lingkungannya, pada akhirnya kita semua tetaplah individu dan tidak dapat direduksi menjadi massa yang homogen atau sekadar anggota suatu komunitas. Manusia bukan hanya sekedar artefak kebudayaan dari suatu kelompok etnis maupun properti biologis dari “ras” tertentu. Setiap manusia memiliki pemikiran dan perasaannya masing-masing, dan akan ada banyak pemisahan di dalam sebuah kelompok yang terlihat sebagai sebuah kesatuan tunggal. Nasionalis kulit putih kerap kali menganggap kritik terhadap kolonialisme Amerika sebagai anti-kulit putih, karena mereka menganggap bahwa negara kolonial merepresentasikan “keinginan dari rakyatnya.” Jelas sekali, ini adalah omong kosong yang rasis, Yang banyak dilewatkan oleh banyak orang disini adalah ini merupakan logika yang sama yang digunakan oleh pendukung rezim Israel yang menganggap bahwa kritik terhadap pemerintahan Israel sebagai bentuk anti-semitisme. Paradoksnya, hal ini merupakan bentuk anti-semit karena hal ini menyiratkan bahwa semua orang Yahudi, bahkan mereka yang bukan warga negara negara tersebut, terikat pada pemerintahan Israel.
Meskipun demikian, saya meyakini bahwa penggunaan label anti-Zionis di Barat pada akhirnya masih kontraproduktif. Penggunaan label tersebut, meski bertujuan baik, sayangnya justru mempermudah pekerjaan para Zionis Barat. Dampak lainnya adalah penggunaan label anti-zionis justru menyediakan penyamaran bagi kelompok fasis. Akan menjadi lebih efektif dan tepat untuk mengkritik Zionisme melalui sudut pandang anti-nasionalis secara umum. Zionisme sejatinya tidak memiliki perbedaan dengan nasionalisme kulit putih maupun bentuk-bentuk etno-nasionalisme lainnya. Semua proyek etno-nasionalis sangat berbahaya, agresif, xenofobik, dan menindas. Ada banyak konflik di muka bumi yang muncul akibat agresi nasionalis; perang Rusia-Ukraina, perang antara Azerbaijan dan Armenia, upaya pembersihan etnis Kurdi-Suriah di Suriah utara dan timur oleh Turki. Sehingga kritik terhadap Israel sebagai sebuah negara idealnya berada dalam payung anti-nasionalisme. Kita tidak memerlukan label khusus untuk menentang nasionalisme tertentu. Metode ini mungkin akan bekerja dengan baik karena beberapa alasan.
Mengkritik Zionisme melalui sudut pandang anti-nasionalisme secara umum menjadikan para anti-semit sesungguhnya untuk menyusup ke gerakan kiri dengan topeng anti-Zionisme. Mempertimbangkan adanya tren nasionalisme otonom aneh dari para neo-fasis 3rd positionist dan bagaimana mereka menggunakan anti-Zionisme dan simbol-simbol gerakan kiri lainnya untuk menyusup, membingungkan, dan menghancurkan gerakan kiri dari dalam. Seperti yang ditulis Alexander Reid Ross di Against the Fascist Creep,
Kelompok Nasionalis Otonom masih terus beroperasi untuk menyamar, atau membentuk evolusi yang menyimpang, dari sejumlah gerakan sosial yang berkembang di Eropa sebelum perang, selama perang, dan pasca perang. Upaya paling awal untuk menggabungkan sindikalisme revolusioner dan ultranasionalisme yang kemudian melahirkan fasisme pada tahun 1910-an, telah bermutasi menjadi gabungan aneh antara Maoisme, anarkisme, dan teror fasis yang menjadi ciri dari kelompok “3rd Position” selama Perang Dingin, dan kini kembali bertransformasi menjadi kelompok reaksioner yang aneh dan memiliki kecenderungan otonom. Dengan menggunakan Kafiyeh Palestina dan kostum black-bloc, para Nasionalis Otonom dapat disalahkira sebagai kelompok kiri. Dan solidaritas mereka terhadap Palestina dipenuhi sentimen anti-semit dengan kedok “anti-Zionisme.” Mereka kerap kali beroperasi dengan melakukan vandalisme dan kampanye “anti-antifasis” yang meliputi penargetan dan penyerangan terhadap aktivis anti-fasis, sambil mengubah simbol anti-fasisme menjadi simbol fasis.
Sialnya, Saya sendiri pernah menyaksikan para penyusup fasis yang mencoba menyamar menggunakan retorika anti-Zionis di tempat kerjaku. Saya pernah terlibat dalam perdebatan yang menyebalkan dengan kolega kerjaku yang mengaku sebagai anti-Zionis sambil terus melontarkan pembicaraan yang anti-semit. Namun sejatinya, dia bukan lah seorang anti-Zionis, dia dengan cepat menunjukan siapa dirinya yang sesungguhnya, seorang 3rd positionist seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Ia percaya bahwa Yahudi menguasai dunia, bahkan ia menggunakan Protocols of The Elder of Zion sebagai referensi. Menjadi terang benderang bahwa ia merupakan seorang fasis. Ia terus menyampaikan topik-topik yang sosialistik di tempat kerja sambil mempromosikan nilai-nilai sayap kanan seperti penentangan terhadap kelompok LGBTQ+. Pernah sekali waktu ia menyarankan untuk menggunakan sentimen xenofobik untuk menyatukan pekerja Amerika dalam melawan investasi asing. Tidak mengejutkan bahwa ia kemudian dipecat karena membuat banyak pekerja lain marah. Namun strategi ini sejatinya jarang digunakan. Penggunaan label anti-Zionis di Barat seringkali secara tidak sengaja memberikan kedok pada orang-orang seperti itu. Saya tidak bermaksud untuk menyatakan bahwa mayoritas dari orang-orang kiri anti-Zionis adalah anti-semit, jelas bukan itu maksud saya, tapi kita harus bertanya; Mengapa mempermudah para fasis untuk menyusup dalam gerakan kita? Khususnya ketika hal tersebut tidak menghasilkan keuntungan strategis tertentu. Meskipun tidak ada strategi atau kerangka kerja yang dapat 100% efektif mencegah penyusupan, kritik secara general terhadap nasionalisme dari perspektif solidaritas universalitas manusia dan internasionalisme akan secara otomatis mengurangi kemungkinan kooptasi fasis karena alasan sederhana bahwa fasis sendiri merupakan gerakan rasis yang nasionalis, xenofobik, dan rasis.
Hal ini juga akan mempersulit para aktivis pro-Israel atau liberal yang kerap kali menuduh para kritikus negara Israel sebagai anti-semit. Jika kalian menyebut diri sebagai anti-Zionis, itu akan mempermudah mereka untuk menuduh “yap anda adalah seorang anti-semit.” Masalah kemudian bertambah dengan adanya penyusupan para fasis. Bagi orang-orang yang belum terbiasa dengan kompleksitas gerakan politik radikal, tuduhan tersebut akan terdengar cukup masuk akal ketika dapat melempar batu kepada kerumunan orang yang menyebut dirinya sebagai anti-Zionis dan mengenai sekelompok anti-semit sesungguhnya yang memanfaatkan kerumunan tersebut untuk berlindung. Bukan berarti ketika kita menggunakan kerangka anti-nasionalisme secara umum para Zionis Barat khususnya Kristen Zionis akan berhenti menggunakan taktik licik tersebut, namun serangan tersebut akan menjadi tidak telegitimasi.
Terakhir, tentu konflik Israel-Palestina bukan hanya sekedar konflik. Ini lebih seperti kampanye pemusnahan yang lambat, namun hal ini bukanlah hal yang unik sepanjang sejarah. Seperti yang dinyatakan Ilan Pappe dalam esai On Palestine; “Para pemukim Eropa datang ke negeri lain, bermukim di sana, dan kemudian entah melakukan genosida atau mengusir para penduduk asli. Dengan segala hormat, para Zionis tidak menciptakan sesuatu yang baru.” Ini bukan bermaksud untuk meremehkan kejadian mengerikan yang terjadi di Palestina. Genosida perlahan terhadap penduduk Palestina tentu tidak terbantahkan lagi sebagai salah satu kejahatan kemanusiaan terburuk di era modern. Namun juga penting untuk menyoroti sejarah panjang kolonialisme Eropa. Dan untuk menyadari bahwa kolonialisme bukan hanya perbuatan Eropa saja, jangan sampai kritik kita jatuh ke dalam campism. Kekaisaran Jepang dengan sangat brutal menaklukan sebagian besar Asia pada abad ke-20 dan terlibat dalam bentuk imperialisme yang setara dengan perilaku biadab yang ditunjukkan oleh rezim kolonial barat pada saat itu. Imperialisme tidak hanya terjadi pada satu blok geopolitik saja, negara bangsa atau aliansi negara bangsa manapun dapat terlibat dalam perbuatan imperialistik. Sangat penting untuk diingat bahwa salah satu isu utama yang mendasari semua konflik dan kampanye pemusnahan massal yang disebutkan di atas adalah nasionalisme. Imperialisme tidak hanya terjadi pada satu blok geopolitik saja, negara bangsa atau aliansi negara bangsa manapun dapat terlibat dalam petualangan imperialistik. Nasionalisme adalah salah satu ancaman terbesar, tidak hanya terhadap kebebasan dan kehormatan manusia, namun juga terhadap kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Kita tidak boleh lupa bahwa nasionalisme sebagai sebuah fenomena yang luas adalah masalah mendasar pada saat yang genting ini ketika konflik Israel-Palestina mengancam untuk menyeret seluruh dunia ke dalam perang global. Penting untuk diingat bahwa Zionisme, betapapun kejinya, pada dasarnya adalah bagian kecil dari puzzle nasionalisme yang sangat besar, anti-individualis, dan berlumuran darah.
Seluruh hasil publikasi didanai sepenuhnya oleh donasi. Jika kalian menyukai karya-karya kami, kalian dapat berkontribusi dengan berdonasi. Temukan petunjuk tentang cara melakukannya di halaman Dukung C4SS: https://c4ss.org/dukung-c4ss.