Libertarianisme Bukan Hanya Sekedar Anti-Negaraisme

Oleh: Cory Massimino. Teks aslinya berjudul “Libertarianism is More than Anti-Statism.” Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Iman Amirullah.

Ada perpecahan besar diantara para libertarian mengenai hubungan antara komitmen kuat kami pada anti-negaraisme dan prinsip-prinsip lainnya yang mungkin kita pegang terkait isu-isu sosial dan budaya. Pembedaan ini merupakan dikotomi yang salah. Sederhananya, kaum libertarian menganut satu prinsip utama; kebebasan. Prinsip ini berlaku baik pada situasi dimana ada keterlibatan negara maupun tidak. menyadari mengenai adanya ketidakadilan yang dilakukan oleh aktor non-negara dan ketidakadilan yang dilakukan oleh negara merupakan cara untuk memperkuat komitmen kita terhadap kebebasan. Artinya, Libertarianisme Bukan Hanya Sekedar Anti-Negaraisme.

Baru-baru ini, penulis libertarian ternama, Lew Rockwell menulis sebuah artikel dalam blognya yang berjudul “What Libertarian is, and Isn’t.” Tuan Rockwell menyatakan “Libertarianisme adalah memiliki kekhawatiran mengenai penggunaan kekerasan di masyarakat. Hanya itu saja cukup. Ia mendukung pandangan bahwa libertarianisme hanya sekedar berfokus pada pembelaan mengenai hak milik. Rockwell membayangkan filosofi libertarian hanya sebagai prinsip non-agresi dan hak milik ala Locke.

Berbagai kekhawatiran mengenai masalah-masalah sosial dan budaya selain dari dua yang telah disebutkan sebelumnya hanya merupakan preferensi tiap individu dan tidak berkaitan dengan libertarianisme individu tersebut. “Libertarian tentu saja bebas untuk memfokuskan perhatian mereka pada isu-isu seperti feminisme dan egalitarianisme. Namun ketertarikan mereka pada isu-isu tersebut tidak memiliki hubungan, dan tidak menjadi keharusan atau sesuatu yang mutlak dimiliki seorang libertarian.” Saya tidak mempercayai argumen ini. Saya menyelaraskan diri dengan gagasan feminisme, anti-rasisme, pembebasan LGBTIQ+, serta kesejahteraan buruh, dan ini merupakan hasil dari pemahaman saya mengenai libertarianisme. Saya berkomitmen pada prinsip-prinsip tersebut karena alasan yang sama dengan mengapa saya berkomitmen pada anti-negaraisme.

Alasan mengapa saya memperhatikan pelanggaran kebebasan oleh aktor non-negara sebenarnya dijelaskan oleh Rockwell sendiri ketika ia menulis, “Posisi kami bukan hanya menyatakan bahwa negara kejahatan moral, tapi juga kebebasan manusia sebagai kebaikan moral yang luar biasa.” Tepat sekali! Saya menentang otoritarianisme, dominasi, dan percaya pada kesetaraan otoritas. Inilah mengapa saya melawan negaraisme. Tapi itu juga menjadi alasan mengapa saya mendukung dunia yang bebas dari penindasan institusional dalam bentuk-bentuk seperti patriarki, rasisme, queerfobia, dan tempat kerja hierarkis yang menghancurkan otonomi pekerja.

Keyakinanku pada kesetaraan otoritas berlaku bukan hanya pada relasi antara pejabat dan masyarakat jelata. Itu berlaku pada semua jenis relasi antar manusia. Tidak peduli baik itu di gedung pemerintahan, tempat kerja, ataupun meja makan, saya ingin memaksimalkan kebebasan manusia. Hasratku terhadap kebebasan manusia dalam semua lini kehidupan ini bertautan secara langsung dengan filosofi libertarianku. Komitmen-komitmen ini bukan hanya sekedar bahan tambahan dalam pizza libertarianisme, ini merupakan keju yang tak bisa dipisahkan!

Rockwell kemudia mengutip “nabi” libertarian, Murray Rothbard, untuk mendukung posisi libertariannya. Rothbard menulis, “Libertarianisme tidak menawarkan cara hidup; ia menawarkan kebebasan, sehingga setiap orang bebas untuk meyakini dan bertindak berdasarkan nilai dan prinsip moralnya sendiri.” Saya percaya bahwa implikasi sejati dari apa yang Rothbard tulis disini justru mendukung gagasan pandangan luas mengenai definisi libertarianisme, yang bertentangan dengan pandangan Rockwell ungkapkan. Libertarianisme tentu saja bukan soal gaya hidup tertentu, melainkan cara berinteraksi antar manusia. Oleh karena itu, sebagai filosofi tentang interaksi sosial yang baik, libertarianisme adalah tentang penghindaran dan penolakan terhadap pola relasi yang otoriter.

Pendapat Rothbard menunjukan bagaimana kebebasan diperlukan bagi setiap orang untuk menemukan tujuan mereka sendiri dan mendapatkan kebaikan bagi diri mereka. Hal ini tentu bukan lah perbuatan negara. Norma budaya yang represif dan adat istiadat sosial yang otoritarian juga menghambat kemajuan masyarakat. Masalah ini tentu mengurangi kebebasan seseorang. Seseorang yang berkulit hitam tentu tidak akan bisa berkembang jika dia tinggal dalam komunitas yang rasis dimana berbagai layanan bisnis menolak untuk melayaninya. Hal ini tidak akan melanggar hak-hak dari orang kulit hitam tersebut, tapi mereka menghambat kemampuan orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dia tidak akan dianggap bebas jika berada dalam masyarakat yang sangat menindas seperti itu.

Rotbard melanjutkan, “Kaum libertarian sependapat dengan Lord Acton bahwa “kebebasan merupajan puncak tujuan tertinggi dalam politik” – namun belum tentu tujuan tertinggi dalam skala prioritas pribadi tiap orang.” Meskipun ini merupakan kutipan yang sangat bagus dari Lord Acton, itu tidak lah cukup. Mengapa kebebasan hanya menjadi relevan dalam bidang politik? Hal itu tentu dipengaruhi oleh berbagi faktor lainnya. Tidak ada alasan bagi kita untuk mengakhiri kepedulian kita terhadap kebebasan manusia pada pemerintah. Agar tetap konsisten, kita harus memperluas kepedulian tersebut hingga pada seluruh interaksi manusia.

Rockwell menyimpulkan, “libertarianisme tidak perlu dan tidak boleh digabungkan dengan berbagai ideologi dan keyakinan mengenai isu-isu tertentu. Hal ini hanya akan menimbulkan kebingungan, dan melemahkan klaim moral yang utama, serta daya tarik keseluruhan dari kampanye kebebasan. Namun, sejatinya ketakutan tersebut tidak relevan. Menunjukkan kepedulian terhadap hubungan sosial otoriter yang tidak dilakukan negara justru menyempurnakan prinsip-prinsip inti dari otonomi dan kebebasan. Itu tidaklah melemahkan kampanye, justru memperkuatnya. Hal ini menjadikannya lebih koheren secara teoritik dan menjadikan kepedulian terhadap kebebasan sebagai fokus utama, bukan hanya sekedar sebatas anti-negaraisme.

Kami mendukung kemerdekaan, otonomi individu, dan kebebasan personal. Ini lah landasan gagasan filosofis dari pizza libertarianisme kami: Pertama, pinggiran piza; menentang negaraisme, tirani politik, dan kekuasaan terpusat sedangkan mendukung kebebasan sipil, pasar bebas, dan non-intervensionisme merupakan satu set kesimpulan yang harus kita rangkul, ia merupakan bagi kedua dari pizza, saus tomat. Tapi ini belum keseluruhannya. Bagian ketiga, fondasi dari pizza ini adalah penentangan terhadap budaya yang represif, intoleransi, dan relasi otoritarianisme, sedangkan mendukung feminisme, pembebasan queer, anti-rasisme, dan kesejahteraan buruh merupakan satu paket bagian dari bagian keempat pizza, yaitu keju. Dengan menyatukan semua bagian ini, kita akan menciptakan pizza besar, lezat, dan indah yang dikenal sebagai libertarianisme.

Seluruh hasil publikasi didanai sepenuhnya oleh donasi. Jika kalian menyukai karya-karya kami, kalian dapat berkontribusi dengan berdonasi. Temukan petunjuk tentang cara melakukannya di halaman Dukung C4SS: https://c4ss.org/dukung-c4ss.

Anarchy and Democracy
Fighting Fascism
Markets Not Capitalism
The Anatomy of Escape
Organization Theory