Oleh: Kevin Carson. Artikel aslinya berjudul “Free Market Reforms and the Reduction of Statism”. diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Iman Amirullah.
Cendekiawan objektivis, Chris Sciabarra dalam karya briliannya yang berjudul Total Freedom, menyerukan “libertarianisme dialektis.” Dengan analisis dialektis, Sciabarra bermaksud untuk “memahami sifat suatu bagian dengan melihatnya secara sistematis — yaitu, sebagai perpanjangan dari sistem di mana bagian itu ada.” Masing-masing bagian menerima karakternya dari keseluruhan yang menjadi bagiannya, dan dari fungsinya di dalam keseluruhan itu.
Ini berarti merupakan sebuah kesalahan fatal jika kita menganggap setiap bentuk intervensi oleh negara secara terpisah, tanpa memperhatikan peran yang dimainkannya dalam keseluruhan sistem. (Lihat dalam “Dialectics and Liberty” oleh Sciabarra yang diterbitkan oleh The Freeman pada September 2005.)
Libertarian lainnya, bloger Arthur Silber, mengontraskan libertarianism dialektis dengan apa yang dia sebut sebagai “libertarianisme atomistik”, yang pendekatannya “berfokus pada prinsip-prinsip dasar yang terlibat, tetapi dengan sedikit (atau tidak ada sama sekali) perhatian yang diberikan pada keseluruhan konteks dimana prinsip-prinsip tersebut dianalisis. Dengan cara seperti ini, pendekatan ini berarti menggunakan prinsip-prinsip seperti milik Plato….” Libertarian atomistik berpendapat “seolah-olah masyarakat tempat seseorang hidup sama sekali tidak berhubungan dengan analisis masalah apa pun.”
Untuk menentukan fungsi suatu bentuk intervensi negara dalam struktur kekuasaan negara, pertama-tama kita harus bertanya apa yang menjadi tujuan sejarah negara. Disinilah analisis kelas libertarian akan hadir.
Salah satu karya terbesar tentang teori kelas libertarian yang saya ketahui adalah artikel panjang karya Roderick Long, “Toward a Libertarian Theory of Class” (Social philosophy & policy, Summer 1998). Long mengkategorikan teori kelas penguasa antara sebagai “statocratic” atau “plutocratic”, yang dibedakan antara penekanan pada pemberian kekuatan pada aparatus negara dan plutokrasi (“sektor swasta” kaya raya yang menerima keuntungan dari setiap intervensi oleh negara) sebagai komponen dari kelas penguasa.
Kecenderungan mainstream dalam gerakan libertarianisme adalah statocracy. sampai-sampai tidak hanya menekankan perlunya peranan negara untuk melakukan pemaksaan yang memungkinkan “penjarahan legal” (Istilah Frederic Bastiat) oleh plutokrasi, terapi juga meremehkan pentingnya plutokrasi bahkan sebagai penerima manfaat dari negaraisme. Ini berarti memperlakukan kepentingan kelas yang terkait dengan negara sebagai ad hoc dan sekedar kebetulan saja. Meskipun teori statocracy memperlakukan negara (dalam penjelasan Franz Oppenheimer) sebagai alat politik terorganisir untuk mendapatkan kekayaan, ia masih cenderung memandang pemerintah hanya melayani kepentingan eksploitatif dari bermacam-macam faksi politik yang kebetulan mengendalikannya pada waktu tertentu. Gambaran tentang bagaimana negara bekerja tidak memerlukan hubungan organik antara berbagai kelompok kepentingan yang menguasainya setiap saat, atau antara mereka dan negara. Itu mungkin dikendalikan oleh berbagai kelompok kepentingan, termasuk profesional berlisensi, perusahaan rente, tuan tanah, utilitas yang diatur, dan tenaga kerja besar; satu-satunya kesamaan diantara mereka adalah bahwa mereka saat ini merupakan entitas yang paling berhasil untuk menempel pada negara.
Posisi Murray Rothbard sangat jauh berbeda. Rothbard, menurut Long, melihat negara dikendalikan oleh “sebuah kelompok dominan yang telah mencapai posisi hegemoni struktural, sebuah kelompok yang menjadi pusat konsolidasi kelas dan krisis dalam ekonomi politik kontemporer. Pendekatan Rothbard terhadap masalah ini, pada kenyataannya, sangat dialektis dalam pemahamannya tentang dinamika kelas sejarah, politik, ekonomi, dan sosial.”
Saya telah banyak berargumen sebelumnya bahwa ekonomi korporasi terikat sangat erat dengan kekuasaan negara, maka akan lebih masuk akal untuk berfikir bahwa korporasi kelas penguasa sebagai bagian dari negara, dengan logika yang sama seperti tuan tanah merupakan bagian dari negara di Rezim Kuno. Blogger Brad Spangler menggunakan analogi seorang pembawa pistol dan pembawa tas untuk mengilustrasikan hubungan antara keduanya:
Mari membayangkan ada dua skenario perampokan.
Skenario pertama, seorang perampok seorang diri mengacungkan pistolnya kepadamu dan mengambil uangmu. Semua libertarian akan menyadari ini sebagai contoh paling mikro dari cara kerja pemerintah, yang paling mirip dengan Sosialisme Negara.
Pada skenario kedua, yang menggambarkan Kapitalisme Negara, seorang perampok (aparat penegak hukum secara harfiah) mengacungkan pistolnya kepada mu dan pihak kedua (representasi dari korporasi yang bekerja dengan pemerintah) memegang tas terbuka yang harus kalian isi dengan harta benda berharga kalian. Untuk menyatakan bahwa proses interaksi kalian dengan sang pembawa tas sebagai “transaksi sukarela” adalah sangat absurd. Omong kosong tidak masuk akal seperti itu harus dikutuk oleh semua libertarian. Baik pembawa pistol maupun pembawa tas, semuanya merupakan Negara yang sesungguhnya.
Dengan perspektif ini, sangatlah tidak masuk akal untuk mempertimbangkan dorongan untuk deregulasi atau pemotongan pajak tanpa mempertimbangkan peran pajak dan regulasi dalam keseluruhan struktur kapitalisme negara. Terutama mengingat bahwa kebanyakan dari dorongan untuk “reformasi pasar bebas” dilakukan oleh kelas-kelas yang memiliki kepentingan dan diuntungkan oleh negara korporat.
Tidak ada sistem ekonomi-politik yang pernah mendekati negaraisme penuh, dalam artian sebagai “apa saja yang tidak dilarang, berarti wajib dilakukan.” Dalam setiap sistem yang pernah ada, akan selalu ada campuran antara kewajiban dan diskresi. Kelas penguasa mengizinkan sejumlah pertukaran pasar sukarela dalam celah sistem yang struktur keseluruhan nya telah ditentukan oleh intervensi negara secara koersif. Akan ada penentuan antara bidang mana yang akan dilakukan oleh aktivitas pertukaran sukarela, begitu juga dengan bidang mana yang harus tunduk pada regulasi dan kontrol, mencerminkan gambaran keseluruhan dari strategi kelas penguasa. Campuran total antara negaraisme dadn aktivitas pasar akan dipilih sebagai yang paling memungkinkan, menurut kelas penguasa, untuk memaksimalkan eksploitasi secara penuh melalui sarana politik.
Intervensi Primer dan Sekunder
Beberapa bentuk intervensi negara bersifat primer. Ini melibatkan privelese, subsidi, dan basis struktural lainnya yang diperoleh melalui eksploitasi ekonomi dari sistem politik. Ini telah menjadi tujuan utama dari negara: sarana politik yang yang terorganisir untuk mendapatkan kekayaan, dilakukan oleh dan untuk orang-orang dengan kelas tertentu. Namun, beberapa bentuk dari intervensi bersifat sekunder. Ini bertujuan untuk menstabilkan, atau memperbaiki kondisi yang ada. Misalnya adalah langkah-langkah welfare-state, manajemen permintaan Keynesian, dan sejenisnyas, yang bertujuan untuk membatasi efek samping yang bersifat negatif dari privelese dan mengamankan kelangsungan hidup sistem dalam jangka panjang.
Sayangnya, tipikal “reformasi pasar bebas” yang muncul dari kepentingan korporasi hanya menghapus bentuk-bentuk intervensi yang bersifat memperbaiki atau mengatur, sambil membiarkan struktur primer berupa privelese dan eksploitasi tak tersentuh.
Prioritas strategi para libertarian yang teguh pada prinsip seharusnya adalah sebaliknya, yaitu pertama-tama membongkar bentuk intervensi negara yang paling mendasar dan struktural, yang efek utamanya adalah memungkinkan adanya eksploitasi, dan baru kemudian membongkar bentuk intervensi sekunder, bentuk intervensi yang mencoba untuk “memperbaiki” kehidupan orang-orang yang hidup dibawah sistem eksploitatif yang dilakukan oleh negara. Seperti yang blogger Jim henley jelaskan, lepaskan dahulu rantainya, baru tongkat bantu jalannya.
Untuk menyebut dorongan “reformasi pasar bebas” yang ada sebagai “langkah ke arah yang benar”, tanpa memperhatikan pengaruhnya secara keseluruhan dalam sistem yang ada, adalah sebanding dengan orang-orang Romawi yang merayakan penarikan Punic Center di Cannae sebagai “langkah ke arah yang benar.” Formasi pertempuran Hannibal bukanlah langkah pertama dalam penarikan umum Carthaginian dari Italia, dan kalian akan dapat sadar bahwa “privatisasi”, “deregulasi”, dan “pemotongan pajak”, tidak lah diciptakan untuk mengurangi jumlah kekayaan yang diperoleh melalui kekuatan politik.
Regulasi dan Peningkatan Negaraisme
Bagaimanapun, regulasi yang membatasi dan mengekang keberadaan privelese, tidaklah terkait sama sekali dengan peningkatan negaraisme sama sekali. Ini hanyalah upaya stabilisasi oleh negara korporat dengan membatasi bentuk intervensinya yang paling mendasar.
Silber mengilustrasikan sifat dialektis dari pembatasan tersebut dengan merujuk pada pertanyaan apakah apoteker harus dapat menolak untuk menjual obat tertentu (seperti pil “pencegah kehamilan) yang melanggar prinsip kepercayaan mereka. Libertarian-atomistik akan menjawab “Tentu saja. Hak untuk menjual atau tidak menjual merupakan fundamental dari kebebasan di pasar bebas.” Asumsi yang muncul disini adalah, seperti yang dijelaskan Silber, “bahwa perselisihan ini muncul dalam masyarakat yang sejatinya bebas.” Tetapi apoteker sebenarnya merupakan penerima keuntungan langsung dari lisensi kerja wajib, sebuah alat dari negara yang memiliki tujuan utama untuk membatasi persaingan dan memungkinkan mereka untuk membebankan harga monopolistik pada layanan mereka. Silber menjelaskan:
Poin utamanya sangat sederhana: profesi terkait farmasi merupakan bentuk monopoli yang dipaksakan oleh negara. Dalam kata lain: Konsumen dan farmasi tidak berada dalam posisi yang setara saat bertransaksi. Negara telah menekan jarinya pada satu bagian dari timbangan, dan membuatnya tidak setara. Inilah poin utamanya, dimana kini semua analisis harus bermula dari sini.
… Negara telah menciptakan monopoli yang dipaksakan oleh negara untuk dunia farmasi. Mengingat kenyataan ini, paling tidak yang dapat dilakukan oleh setiap negara adalah memastikan setiap orang dapat memiliki akses ke obat-obatan yang mereka butuhkan dan apakah “pil” tertentu penting untuk hidup atau mati seseorang, itu merupakan keputusan bagi setiap individu untuk mengambilnya atau tidak — bukannya apoteker dan tentu saja pemerintah.
Ketika negara memberikan “hak khusus” pada sebuah profesi, perusahaan, atau industri, dan ia kemudian menetapkan peraturan baru mengenai pembatasan terhadap penggunaan dari “hak khusus” tersebut bukanlah sebuah bentuk upaya negara untuk masuk ke pasar bebas. Melainkan merupakan bentuk dari pembatasan dan kualifikasi dari negara untuk negaraisme mereka sendiri.
Di sisi lain. pencabutan terhadap regulasi yang bersifat “sekunder” tanpa disertai dengan pencabutan hak istimewa primer, hanya akan menjadi peningkatan terhadap negaraisme. Karena penerima hak istimewa merupakan cabang de facto dari negara, penghapusan terhadap batasan dari penggunaan “hak istimewa” ini memiliki efek yang sama layaknya dengan pencabutan pembatasan konstitusional atas kekuasaan negara.
Untuk memperluas analogi Sprangler soal pembawa tas yang telah dijelaskan diawal, masalah ini seperti pembawa pistol yang memberi perintah kepada pembawa tas setelah sang korban menyerahkan hartanya dibawah todongan pistol, untuk mengembalikan sepersekian dari harta tersebut kepada korban agar memiliki ongkos taksi sehingga korban dapat pulang ke rumahnya, sambil tetap dirampok. Ketika negara dikendalikan oleh “perampok legal” dan setiap keputusan mendukung atau menentang intervensi negara dalam keadaan tertentu mencerminkan penilaian strategis mereka atas perpaduan ideal antara intervensi dan non-intervensi, adalah sebuah kesalahan bagi gerakan anti-negara untuk memberikan prioritas terhadap “reformasi pasar bebas” yang telah dibuat oleh para perampok legal tentang bentuk intervensi apa yang tidak lagi sesuai dengan tujuan mereka. Jika wakil-wakil korporasi di pemerintahan mendorong “reformasi pasar bebas”, anda akan dapat bertaruh dengan seluruh harta anda bahwa itu merupakan upaya mereka untuk meningkatkan kekayaan melalui jalur politik.
Pendekatan kelas korporat penguasa terhadap “reformasi pasar bebas” merupakan benuk dari “sosialisme lemon.” Di bawah sosialisme lemon, para kapitalis politik (yang bertindak melalui negara) akan melakukan nasionalisasi terhadap industri-industri yang paling menguntungkan bagi mereka. Mereka dengan mudah mengalihkan kerja dari sektor swasta kepada negara ketika bidang tersebut dianggap cukup penting bagi semua orang, tapi tidak cukup menguntungkan jika dijalankan oleh “sektor swasta.” Sebaliknya, dibawah “reformasi sosialisme lemon”, kaum kapitalis politik akan menghapus kebijakan intervensionis mereka setelah puas memeras semua profit melalui tangan negara.
Sebuah contoh bagus adalah” industrialis Inggris merasa bahwa akan menguntungkan untuk mengadopsi “pasar bebas” pada pertengahan abad ke-19 setelah puas dengan hasil dari merkantilisme. Separuh dari dunia telah ditaklukan ke dalam satu pasar dibawah kekuatam senjata dan armada dagang Inggris. Inggris telah membasmi industri pesaing yang ada di dunia kolonial. Mereka telah menerapkan kembali Enclosures dalam skala global, mencuri banyak tanah penduduk adat dan mengubahnya menjadi lahan tanaman komersial untuk memenuhi pasar dunia. Keunggulan modal Inggris adalah konsekuensi dari merkantilisme mereka di masa lalu; setelah mendapatkan keunggulan ini, mereka akhirnya merangkul “pasar bebas.”
Mereka yang disebut sebagai gerakan “pasar bebas” di Amerika Serikat saat ini mengikuti pola yang sama. Satu abad lalu, hambatan tarif yang tinggi menguntungkan kepentingan politik para kapitalis Amerika. Hari ini, ketika kepentingan korporasi yang dominan di Amerika bersifat transnasional, tarif menjadi tidak berguna bagi mereka. Hal ini justru menghambat perpindahan barang dan produk setengah jadi antara subdivisi nasional dari sebuah perusahaan global.
Disisi lain, apa yang disebut sebagai “kekayaan intelektual” saat ini memiliki fungsi proteksionis yang sama bagi perusahaan transnasional seperti halnya hambatan tarif yang diterapkan pada perusahaan nasional seabad lalu. Jadi, para kapitalis politik mempromosikan sebuah versi dari “perdagangan bebas” yang berarti menghilangkan hambatan tarif yang sudah tidak relevan dan memperkuat jenis proteksionisme baru dalam wujud hukum “kekayaan intelektual.”
Kita harus ingat bahwa keseluruhan negaraisme terletak pada berfungsinya sistem secara keseluruhan, bukan pada negaraisme formal dari bagian-bagiannya yang terpisah. Penghapusan negaraisme formal pada beberapa bagian yang terpisah, yang dipilih sesuai dengan prioritas strategis dari statistika, sebenarntya justru malah dapat meningkatkan negaraisme secara keseluruhan. Agenda strategis kita sebagai kaum libertarian, dalam membongkar kekuasaan negara, harus mencerminkan pemahaman kita tentang sifat sistem secara keseluruhan.
Seluruh hasil publikasi didanai sepenuhnya oleh donasi. Jika kalian menyukai karya-karya kami, kalian dapat berkontribusi dengan berdonasi. Temukan petunjuk tentang cara melakukannya di halaman Dukung C4SS: https://c4ss.org/dukung-c4ss.