Reformasi Agraria Abad ke-20 di Guatemala dan Meksiko

Oleh: Eric F. Teks aslinya berjudul “20th Century Land Reforms in Guatemala vs. Mexico.” Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Ameyuri Ringo.

Malcolm X pernah berkata bahwa semua “[r]evolusi adalah untuk tanah. Tanah merupakan fondasi bagi semua kemerdekaan. Tanah adalah fondasi untuk kebebasan, keadilan, dan kesetaraan.” Dari Gerakan Pekerja Tak Bertanah yang terpengaruh Marxisme di Brazil hingga gerakan #LandBack masyarakat adat di Amerika Utara, perjuangan atas tanah—baik sebagai alat produksi maupun sumber kehidupan yang suci—terus bergejolak. Dan tidak mengherankan, ketika kepemilikan lahan dalam skala besar secara tidak sah diberlakukan secara sepihak melalui intervensi negara di seluruh dunia, sehingga mengakibatkan, misalnya di Amerika Serikat, 100 keluarga terkaya untuk dapat memiliki 640 juta hektar lahan (setara dengan luas New England), 25 tuan tanah memiliki 20 juta hektar lahan (hampir 1% dari keseluruhan negara), dan Bill Gates menjadi pemilik lahan pertanian terbesar di Amerika Serikat. Untuk memahami hal ini, tidak ada salahnya untuk melihat gerakan reformasi agraria di masa lalu guna dapat mempelajari strategi mereka. Artikel ini berfokus pada perbandingan antara gerakan reformasi agraria di Guatemala pada 1950an dengan gerakan reformasi yang diperjuangkan oleh Liberation Army of the South yang dipimpin oleh Emiliano Zapata (kerap disebut juga sebagai Zapatista). Kedua berfokus pada perjuangan untuk menghancurkan kepemilikan tanah besar-besaran oleh para tuan tanah semi-feodal dan mendistribusikan kembali kepemilikan atas tanah secara lebih luas, meski begitu keduanya memiliki beberapa perbedaan.

Salah satu perbedaan yang mencolok antara gerakan reformasi agraria Guatemala dan Meksiko adalah yang pertama—meskipun sama-sama melibatkan unit dan gerakan yang lebih kecil, khususnya di kalangan pekerja—merupakan gerakan gerakan yang lebih tunggal dan monolitik yang digerakan oleh negara. Mekanisme utama untuk reformasi agraria di Guatemala adalah Dekrit 900 Presiden Jacobo Arbenz. Dekrit ini diterima oleh Kongres pada 17 Juni 1952, reformasi besar-besaran ini memberikan 603.704 hektar lahan kepada sekitar 100.000 keluarga Guatemala dalam dua tahun. Hal ini dicapai melalui penciptaan berbagai komite dan departemen baik dari level lokal hingga nasional. Dalam “The Law That Would Change the World” dari Silence on the Mountain, Daniel Wilkinson menjelaskan bagaimana sekelompok pekerja mencoba mengungkap pelanggaran atas Dekrit 900 yang dilakukan oleh perkebunan besar La Patria. Mereka menandatangani sebuah petisi dan mengirimkannya kepada Komite Agraria Lokal La Igualdad—satu dari banyak komite agraria yang didirikan oleh para pekerja dan anggota komunitas untuk menegakan Dekrit 900—dengan harapan dapat mencapai Presiden Arbenz. Namun, sebelum itu, “Petisi pekerja ini harus melewati serangkaian komite yang telah dibentuk oleh Dekrit 900 untuk melaksanakan reformasi.” Pertama-tama, itu harus melalui Komite Agraria Lokal seperti yang telah disebutkan diatas, kemudian ke Departemen Komite Agraria di San Marcos, kemudia ke Departemen Agraria Nasional di Guatemala City hingga kemudian sampai ke meja Presiden Arbenz setahun setelah petisi tersebut dibuat. Yang jelas dari rantai birokrasi ini, reformasi agraria dari Dekrit 900 merupakan bagian dari sebuah kesatuan struktur yang bersumber dari sentralisasi negara. Aktor non-negara lokal jelas tetap menjadi bagian dari gerakan reformasi seperti yang dilakukan oleh para pekerja Perkebunan La Patria melalui petisinya atau melalui—seperti yang dijelaskan Wilkinson—penominasian kepala Komite Agraria Lokal di La Igualdad oleh serikat pekerja lokal, namun kedua tindakan tersebut tetap merupakan bagian dari struktur Dekrit 900 yang lebih monolitik.

Berkebalikan dengan yang terjadi di Guatemala, reformasi agraria di Meksiko selama periode revolusioner 1910-1920 tidak dilakukan melalui sebuah struktur yang tersentralisasi, dan sangat bergantung pada aktor lokal non-negara. Helga Baitenmann menjelaskan (hlm. 3) bahwa ketika “faksi-faksi revolusioner yang berbeda menyampaikan proposal reformasi agraria mereka, penduduk desa mengadopsi usulan tersebut secara bergantian dalam perjuangan berkelanjutan mereka atas tanah.” Faksi-faksi yang berbeda ini kemudian membentuk organisasi lokal atau regional untuk dapat menjalankan rencana reformasi agraria yang mereka usulkan; sebagai contohnya, para Zapatista di Meksiko selatan menunjuk “penjaga tanah” (‘guarda-tierras’) yang diberi tugas untuk melakukan pendistribusian tanah (hlm. 14-5). Para petugas lokal ini mendorong penerapan atas keragaman proposal reformasi agraria seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Dalam bab delapan Zapata and the Mexican Revolution, John Womack menggarisbawahi bagaimana di Morelos (desa) yang di bawah pengaruh Zapatista,

Dapat mempertahankan tanahnya sebagai kepemilikan bersama dan pembagian hak untuk menggarap, atau mereka juga dapat mendistribusikan hak kepemilikan mereka kepada para petani kecil lain—sesuai keinginan mereka. Negara maupun pemerintahan federal tidak dapat mengintervensi keputusan yang diambil tiap desa, dan satu-satunya hal yang boleh dilakukan oleh pemerintah federal adalah melarang penjualan atau penyewaan tanah.

Seperti yang ditunjukkan oleh diperbolehkannya campur tangan federal ini—serta kontrol federal yang lebih besar yang dapat ditemukan di Meksiko utara pada saat itu—negara tentu saja merupakan bagian dari reformasi agraria Meksiko yang revolusioner. Sama seperti di Guatemala, disini juga terdapat banyak departemen dan dewan dimana kelompok maupun individu dapat mengajukan petisi untuk hibah tanah atau restitusi tanah, namun sistem ini bukanlah sebuah birokrasi hirarkis tunggal seperti yang dihasilkan oleh Dekrit 900. Melainkan berbagai macam lembaga ini merupakan bagian dari struktur semi-pemerintahan yang diciptakan oleh berbagai faksi revolusioner.

Perbedaan besar lainnya antara Argentina dan Meksiko adalah motivasi mereka. Dalam kasus Guatemala, reformasi agraria mungkin tampak seperti reformasi kiri jauh. Hal ini, seperti yang dijelaskan oleh Wilkinson, adalah bagaimana reaksi dari banyak orang Guatemala terhadap hal tersebut, dengan satu-satunya pemilik tanah di La Igualdad yang bersedia membahas reformasi agraria, namun Komite Agraria Lokal menolaknya karena pandangan kerasnya yang anti-komunis. Kebijakan luar negeri AS juga bisa dibilang menangkap persepsi yang sama, seperti yang dijelaskan Douglas W. Trefzger (hlm. 32-3) bahwa intervensi AS terhadap Guatemala bukan hanya sekedar untuk melindungi kepentingan bisnis mereka dengan United Fruit Company tapi juga sebagai upaya berskala besar dalam membendung komunisme dan pengaruh Soviet di belahan bumi barat. Dan hingga titik ini, adalah benar bahwa kelompok revolusioner sayap kiri seperti Partai Komunis Guatemala (PGT) terlibat dalam upaya ini dan dalam beberapa kasus, redistribusi tanah menjadi koperasi pekerja yang sukses. Meski begitu, Dekrit 900 masih merupakan upaya industrial-kapitalistik. Pembenaran hukum yang digunakan oleh Arbenz untuk Dekrit tersebut adalah Pasal 88 dari Konstitusi Guatemala yang mengizinkan pemerintah untuk dapat melakukan intervensi langsung terhadap perekonomian nasional untuk meningkatkan industri dan pertanian. Jadi, peningkatan perekonomian merupakan pondasi utama dari hukum. Dan Dekrit tersebut bukanlah bentuk redistribusi tanah, melainkan hanya sekedar pengalokasian ulang tanah yang tidak digunakan. Pada saat itu, menurut Trefzger (hlm. 32), hanya 12% lahan milik pribadi di Guatemala yang ditanami, dan penataan ulang kepemilikan lahan ini dimaksudkan untuk meningkatkan presentase tersebut. Lebih jauh lagi, dekrit tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa tujuannya adalah untuk mengembangkan “metode produksi kapitalis di bidang pertanian dan mempersiapkan jalan bagi industrialisasi Guatemala,” dengan metodologi spesifiknya adalah membebaskan pekerja pedesaan dari ketergantungan pada perkebunan tertentu dan dengan demikian memungkinkan mereka berpartisipasi secara lebih terbuka di pasar tenaga kerja yang pada gilirannya akan meningkatkan perekonomian dalam negeri dan memungkinkan industrialisasi yang lebih masif.

Mengenai faktor pendorong di balik reformasi agraria di Meksiko yang revolusioner, sangat sulit untuk menjelaskannya secara spesifik karena dorongan untuk reformasi agraria telah ada di desa-desa bahkan sebelum faksi-faksi yang secara eksplisit revolusioner terbentuk—meskipun teori “Partisipasi Rakyat dalam Pembentukan Negara” dari Baitenmann sangat membantu dalam menjelaskan beberapa motivasi pendorong. Banyaknya permohonan pengelolaan tanah yang diajukan oleh banyak masyarakat desa jelas dimotivasi oleh kebutuhan ekonomi dari kelompok kecil mereka sendiri, karena perdebatan tentang apakah akan mengajukan hibah tanah atau restitusi tanah sering kali berputar di sekitar mana yang akan memberi mereka kepemilikan tanah paling luas, tetapi motivasi di balik salah satu faksi revolusioner paling terkenal, Zapatista, dapat didefinisikan dengan cukup jelas. Zapata menginginkan pengembalian kepemilikan lahan kepada pemiliknya yang sesungguhnya, penduduk asli pueblos, tapi juga penting untuk mencatat bahwa reformasi agraria yang ia ajukan lebih berfokus pada pembagian tanah secara adil dan setara alih-alih didasarkan pada pembagian kepemilikan secara primordial. Keadilan tercapai dengan sebagian tanah yang telah direbut dikembalikan kepada pemilik aslinya, para penduduk asli, dan sisanya dibagikan secara merata kepada masyarakat secara umum (hlm. 6-7). Hal ini menunjukan secara jelas komitmen Zapatista akan keadilan dan kesejahteraan—untuk memperbaiki kesalahan di masa lalu dan menciptakan masa depan yang lebih setara. Selain perbedaan mengenai desentralisasi/sentralisasi dalam gerakan reformasi agraria, perbedaan lainnya adalah dalam aspek tujuan akhir, dimana reformasi agraria Guatemala bertujuan untuk memodernisasi ekonomi, meski unsur keadilan dan kesetaraan terkandung dalam Dekrit 900. Dan meski Meksiko maupun Guatemala saat ini merupakan negara kapitalis yang terlibat dalam ekonomi dunia, ada banyak hal yang dapat kita pelajari dari sejarah mereka dan perjuangan terkini Pasukan Pembebasan Nasional Zapatista—yang mengambil nama dari pasukan revolusioner di masa lalu—yang menggabungkan Marxisme, anarkisme, dan politik adat dalam perjuangan untuk otonomi atas lahan di Meksiko kontemporer dan aktivis adat seperti Isabel Solis yang terus berjuang untuk hak-hak atas tanah komunal di Guatemala selama beberapa dekade.

Seluruh hasil publikasi didanai sepenuhnya oleh donasi. Jika kalian menyukai karya-karya kami, kalian dapat berkontribusi dengan berdonasi. Temukan petunjuk tentang cara melakukannya di halaman Dukung C4SS: https://c4ss.org/dukung-c4ss.

Referensi:

Farming While Black by Leah Penniman

“If You Don’t Use Your Land, These Marxists May Take It” by Jack Nicas

“Meet The 25 Land Barons Who Collectively Own 1% Of America” by Hannah Kim

“American land barons: 100 wealthy families now own nearly as much land as that of New England” by Christopher Ingraham

“America’s Biggest Owner Of Farmland Is Now Bill Gates” by Ariel Shapiro

“Popular Participation in State Formation: Land Reform in Revolutionary Mexico” by Helga Baitenmann from Journal of Latin American Studies, February 2011, Vol. 43, No. 1.

Decreto 900 Ley de Reforma Agraria ​​​​​​​by el Congreso de la República de Guatemala,

Constitución de la República de Guatemala, 1945.

“Guatemala’s 1952 Agrarian Reform Law: A Critical Reassessment” by Douglas W. Trefzger from International Social Science Review, 2002, Vol. 77, No. 1/2 (2002).

Silence on the Mountain: Stories of Terror Betrayal and Forgetting in Guatemala by Daniel Wilkinson

Zapata and the Mexican Revolution by John Womack

“A Spark of Hope: The Ongoing Lessons of the Zapatista Revolution 25 Years On” by Hilary Klein

A Life of Struggle for Land and Community in Guatemala: Interview with Isabel Solís” by Dawn Marie Paley

Anarchy and Democracy
Fighting Fascism
Markets Not Capitalism
The Anatomy of Escape
Organization Theory