Oleh: Nathan Goodman. Teks aslinya berjudul “The Weekly Abolitionist: Lysander Spooner’s Legacy for the 21st Century.” Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Ameyuri Ringo.
Pada pekan lalu, saya memiliki kesempatan untuk menghadiri konferensi tahunan Association of Private Enterprise Education (APEE). Saya mengikuti banyak presentasi menarik, termasuk pemaparan ed Stringham mengenai anarkisme, presentasi publikasi Abigail Hall mengenai bagaimana perang di luar negeri akan menghasilkan represi di dalam negeri, diskusi bersama David Skarbek mengenai geng penjara sebagai institusi swa-pemerintahan yang memungkinkan adanya pertukaran pasar, Brian Meehan menjelaskan Regulatory Capture dalam industri keamanan swasta, dan presentasi mengenai ekonomi-politik dari perbudakan oleh Jeffrey Rogers Hummell bersama Phil Magness. Saya juga bertemu dengan presiden Molinari Institute, Roderict T. Long dan bergabung dengannya dalam presentasi di panel tentang Warisan Lysander Spooner untuk Abad 21. Artikel berikut ini merupakan apa yang saya presentasikan selama sesi panel tersebut.
Lysander Spooner mungkin paling dikenal karena semangat abolisionismenya. Dalam sebuah surat kepada The Commonwealth, Spooner menulis, “Saya tidak memiliki simpati sama sekali terhadap pernyataan yang kejam dan kriminal, Jika perbudakan tidak menyentuh kita, maka kita tidak akan menyentuh perbudakan juga…. Saya menginginkan kebebasan dan perbudakan saling berhadapan tanpa ada pertanyaan lain selain yang mana yang akan ditaklukan dan kemudian harus dihapuskan.” Ia menunjukan posisi anti perbudakan radikalnya dalam beberapa karyanya seperti The Unconstitutionality of Slavery (1845) dan A Plan for the Abolition of Slavery, sebuah surat ajakan kepada para penduduk wilayah Selatan yang tidak memiliki budak agar membantu dan mendukung pemberontakan budak.
Jauh setelah perang saudara dan berlakunya Amandemen ke-13, banyak orang mungkin mulai mempertanyakan relevansi abolisionisme di abad ke-21. Tapi sejatinya perbudakan tidak lah berakhir seketika. Amandemen ke-13 melarang perbudakan “kecuali sebagai bentuk hukuman terhadap kejahatan.” Di Selatan, hukum ini diikuti pula dengan Black Codes, yang mengkriminalisasi serangkaian tindakan yang tidak berbahaya yang secara spesifik menargetkan orang kulit hitam. Jadi alih-alih menghapuskan perbudakan, Amandemen ke-13 hanya mengubah bentuknya saja. Ini menciptakan kerja paksa yang bisa dibilang lebih buruk daripada perbudakan. Seperti yang dijelaskan oleh Angela Davis:
“Pemilik budak mungkin masih memikirkan kelangsungan hidup dari para budaknya sebagai individual, yang bagaimanapun juga, merupakan bentuk aset mereka yang sangat signifikan. Sebaliknya, para tahanan tidak diperdagangkan sebagai individu, melainkan sebagai kelompok, dan mereka dapat dipekerjakan sampai mati tanpa mempengaruhi keuntungan dan kekayaan pemiliknya.”
Mari kita melihat kondisi aktualnya. Lembaga Penahanan Lousiana, atau yang biasa dikenal sebagai “Angola,” merupakan bekas penampungan budak yang dirubah menjadi penjara, dan hingga saat ini masih melakukan praktek kerja pertanian paksa. Kondisi layaknya sweatshop masih terus belangsung di banyak lembaga penahanan. Perusahaan seperti Walmart, AT&T, dan Starbuck mengeruk profit dari perbudakan modern ini. Termasuk perusahaan-perusahaan yang mendapatkan keuntungan dari perang seperti BAE, Lockheed Martin, dan Boeing. Rasisme dari perbudakan juga masih terus terjadi; berdasarkan temuan Sentencing Project, 60% dari tahanan di Amerika Serikat adalah orang kulit berwarna, dimana 1 dari 3 pria kulit hitam pernah mengalami penahanan dalam hidup mereka. Amerika melakukan pemenjaraan dalam skala besar, dengan lebih dari 2,4 juta orang dipenjarakan. Gerakan abolisionis mempunyai urusan yang belum terselesaikan di sini.
Diluar abolisionismenya, radikalisme libertarian Spooner yang sangat luas memberikan kita kerangka kerja yang akan sangat membantu kita untuk melawan sistem pemenjaraan yang sangat tidak adil ini. Pendekatan hukum alam Spooner terhadap anarkisme, terartikulasi dalam Vices Are Not Crimes, yang memberikan kita argumen etis dan hukum yang kuat terhadap sebagian besar hukum pidana. Secara khusus, hal ini memberikan argumen yang kuat terhadap pelarangan narkoba dan pembatasan imigrasi yang telah memicu penahanan massal, serta terhadap undang-undang anti-prostitusi yang memungkinkan terjadinya pelecehan dan kekerasan oleh polisi terhadap banyak perempuan, khususnya perempuan transgender kulit berwarna. Spooner juga telah menggunakan argumen tersebut dalam menentang pembentukan departemen kepolisian profesional di Boston pada tahun 1885. Argumen serupa juga dapat digunakan untuk mendukung penghapusan kepolisian pada saat ini. Dimana saat orang-orang ingin melindungi diri mereka sendiri dari kejahatan dan agresi, mereka akan mempunya insentif untuk membayar jasa keamanan semacam ini yang disediakan di pasar. Tapi karena adanya kepolisian negara yang tersentralisasi, mengakibatkan insentif pasar menjadi tidak dapat dilakukan. Pemolisian seperti ini rentan terhadap pelanggaran Hukum alam dalam pengertian Spooner.
Lebih lanjut Spooner berpendapat, dalam An Essay on the Trial By Jury, bahwa merupakan “hak dan tugas utama dari juri, adalah untuk menilai keadilan hukum, dan menyatakan bahwa semua undang-undang adalah tidak sah, yang berdasarkan pandangan mereka tidak adil atau menindas, sehingga semua orang yang melanggar atau menolak menaati undang-undang tersebut tidaklah bersalah.” Dia mengartikulasikan kasus yang sering disebut pembatalan juri. Saat ini, ada instruksi juri yang secara eksplisit menolak hak juri untuk menilai keadilan hukum. Organisasi seperti Fully Informed Jury Association (FIJA), mencoba untuk mengedukasi para juri mengenai hak ini. Spooner berpendapat bahwa, “jika pemerintah dapat mendikte juri tentang undang-undang apa yang harus diterapkan, maka itu tidak lagi menjadi persidangan oleh negara, [*9]. Melainkan persidangan oleh pemerintah; karena juri kemudian mengadili para terdakwa, bukan berdasarkan standar apa pun yang mereka miliki, namun berdasarkan standar yang ditentukan oleh pemerintah. Dan standar yang didikte oleh pemerintah, menjadi alat penentu kebebasan seseorang. Jika pemerintah mendikte standar persidangan, maka tentu saja hasil persidangan akan ditentukan oleh mereka pula.” Membalikkan tren dari persidangan oleh juri ke persidangan oleh pemerintah adalah salah satu taktik yang bisa kita gunakan untuk menggagalkan kekuasaan polisi, jaksa, dan penjara.
Tapi mungkin wawasan taktis paling menarik yang dapat diperoleh para abolisionis penjara dari Spooner berasal dari American Letter Mail Company miliknya. Monopoli perusahaan pos Amerika Serikat menghasilkan masalah seperti yang sudah dapat kita bayangkan: harga yang mahal dan layanan yang buruk. Alih-alih melobi pemerintah untuk meningkatkan layanannya, Spooner mengambil tindakan langsung untuk menantang monopoli perusahaan pos negara. Kisah ini memberi kita contoh sebuah taktik yang dapat menantang kekuasaan negara secara langsung, yaitu entrepreneurship!
Monopoli hukum yang dilakukan negara penuh dengan insentif yang merugikan. Pasukan polisi, yang dipekerjakan oleh negara dan bukan oleh klien yang mencari perlindungan bagi diri dan harta benda mereka, tidak memiliki insentif untuk mendorong para polisi ini untuk memprioritaskan kejahatan agresif atau kejahatan properti dibandingkan kejahatan tanpa korban. Sebaliknya, ada berbagai insentif yang mendorong mereka untuk memfokuskan sumber daya mereka pada kejahatan tanpa korban, seperti pekerja seks dan narkoba, dibandingkan kejahatan dengan kekerasan. Undang-undang perampasan aset, misalnya, memberi polisi wewenang untuk menyita properti yang mereka yakini diperoleh atau digunakan sehubungan dengan kejahatan. Di banyak yurisdiksi, mereka dapat menyita properti tanpa menghukum atau bahkan menuntut pemilik properti atas kejahatan apa pun. Properti yang disita kemudian dilelang yang menghasilkan keuntungan bagi departemen kepolisian secara finansial. Hal ini memunculkan motif keuntungan untuk melakukan lebih banyak penyitaan aset. Kejahatan dengan kekerasan seperti pemerkosaan dan pembunuhan jarang memberikan keuntungan tersebut, namun “kejahatan” perdagangan seperti pengedaran narkoba dan pekerja seks biasanya melibatkan uang dan properti. Artinya, polisi mempunyai motif mencari keuntungan yang mendorong mereka untuk mengarahkan sumber dayanya untuk penegakan hukum menghukum kejahatan tanpa korban dibandingkan menyelidiki kejahatan kekerasan secara menyeluruh. Pendanaan federal yang secara eksplisit dikaitkan dengan militerisasi dan penegakan hukum memperburuk insentif jahat ini.
Penegakan hukum ini kerap kali bersifat diskriminatif dan membuat kelompok marjinal lebih rawan mengalami kekerasan oleh negara. Kriminalisasi terhadap bentuk perdagangan tertentu berarti mereka yang terlibat dalam perdagangan tersebut dihalangi untuk melaporkan kejahatan kekerasan atau kejahatan properti, khususnya yang berkaitan dengan pekerjaan mereka. Lebih lanjut lagi, penegakan hukum yang diskriminatif menghalangi komunitas marginal untuk mencari bantuan polisi. Banyak komunitas kulit berwarna melihat polisi sebagai penindas alih-alih institusi yang dapat mereka harapkan bantuannya. Pada 2011, 46% transgender merasa “tidak nyaman meminta bantuan kepada polisi.” Polisi juga berbagai informasi dengan departemen keimigrasian, yang membuat para imigran takut untuk berinteraksi dengan aparat penegak hukum. Ini merupakan realita dari pemolisian Amerika saat ini.
Sistem peradilan di negara bagian ini mendorong pengalihan sumber daya untuk mencari pelaku dan penegakan hukum yang bersifat diskriminatif. Dampak nyatanya adalah mengakibatkan banyak korban kekerasan, pelecehan, dan penjarahan mempunyai alasan kuat untuk tidak mencari bantuan polisi. Negara kemudian mengesampingkan pilihan-pilihan keamanan dan keadilan alternatif; bahkan, mereka secara terang-terangan berupaya menghilangkan hal-hal tersebut untuk mempertahankan monopoli mereka atas kekuasaan dan hukum. Begitu banyak orang yang termasuk kelompok paling rentan terhadap kekerasan tidak mendapatkan akses terhadap keamanan dan keadilan.
Aksi langsung melalui entreprenuership dapat membantu menyelesaikan masalah ini. Ada banyak contoh yang telah diwujudkan, utamanya oleh kelompok feminis dan anti-rasis. Sebagai contohnya, Gulabi Gang di India terlibat dalam aksi langsung melawan pelaku kekerasan dalam rumah tangga dan aparat hukum yang korup, dan terkadang terlibat dalam arbitrase hukum. Di New York, Audre Lorde Project melatih bisnis lokal dan membangun ruang komunitas untuk menangani situasi kekerasan tanpa harus melibatkan kepolisian. Bentuk-bentuk aksi langsung ini melalui entrepreneurship ini merupakan proyek komunitas yang dilaksanakan tanpa motif keuntungan, namun kita juga dapat membangun proyek dengan motif keuntungan untuk dapat memberikan alternatif terhadap sistem pengadilan yang disediakan negara.
Pada era pemenjaraan massal, tulisan dan tindakan Spooner memberikan kita banyak inspirasi untuk membangun gerakan penghapusan penjara. Mulai dari serangan tanpa komprominya terhadap perbudakan, hingga kritik hukum alamnya terhadap penegakan hukum dan pemolisian, lalu pembelaannya terhadap jury nullification, serta idenya tentang Aksi langsung melalui entreprenuership, pendekatan-pendekatan Spooner ini memberikan kita alat untuk mengakhiri sistem pemenjaraan.
Seluruh hasil publikasi didanai sepenuhnya oleh donasi. Jika kalian menyukai karya-karya kami, kalian dapat berkontribusi dengan berdonasi. Temukan petunjuk tentang cara melakukannya di halaman Dukung C4SS: https://c4ss.org/dukung-c4ss.