Oleh: Eric F. Teks aslinya berjudul “Review: Ayn Rand, Homosexuality, and Human Liberation.” Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia Ayn Rand, book review, Chris Matthew Sciabarra, Eric Fleischmann, Homosexuality, lgbt, LGBTQA+, lgbtqia, Objectivism, Roderick Longoleh Ameyuri Ringo.
Chris Matthew Sciabarra. Ayn Rand, Homosexuality, and Human Liberation. (Leap Publishing, 2003 – Out of Production)
Mari kita mulai dengan kejujuran. Meskipun aku sering merujuk tulisan-tulisan Ayn Rand dalam berbagai karyaku, aku—seperti kebanyakan leftist lainnya—bukanlah pengikutnya. Aku tidak menyukai ide-idenya dan jelas bukan seorang Objectivist. Pendekatanku terhadap Rand mirip dengan yang dilakukan Karl Hess: membandingkannya dengan Emma Goldman sambil menolak solipsismenya yang begitu kental dan tidak menarik. Namun, aku menganggap Chris Matthew Sciabarra sebagai teman dekat sekaligus mentor intelektual. Interpretasi dialektisnya terhadap Rand merupakan satu-satunya hasil bacaan atas Rand yang dapat kuterima—dan terus memberi pengaruh pada pemikiranku. Karena itu, aku berharap ketidaksukaanku terhadap ortodoksi dan Objectivism Rand dapat diimbangi oleh pengaruh intelektual Chris.
Monograf Sciabarra atau, seperti yang ia sebut dengan nada bercanda sebagai “Homonograf”—berjudul Ayn Rand, Homosexuality, and Human Liberation (2003) paling tepat dibaca melalui pendekatan dialektis: dengan meninjau sejumlah kutipan dari tulisannya dan menempatkannya “dari berbagai perspektif dan tingkatan umum, untuk memperoleh gambaran yang lebih komprehensif,” yang “menuntut kita memahami objek sebagai bagian dari sistem yang lebih besar tempat ia berada serta perkembangannya dari waktu ke waktu.” Untuk menjelaskan hal ini, aku juga mengutip beberapa percakapan pribadiku dengan Chris tentang topik tersebut. Ia sendiri mengakui keterbatasan kontekstual dari monograf itu. Misalnya, karya tersebut ditulis pada awal tahun 2000-an—ya, sudah dua dekade lalu—ketika gerakan LGBTQIA+ abad ke-21 baru mulai terbentuk (Chris bahkan mencatat bahwa pada masa itu istilah yang dipakai masih GLBT). Ia juga menegaskan bahwa jika menulisnya kembali hari ini, hasilnya akan sangat berbeda, terutama dalam penekanan pada pengalaman dan perspektif orang-orang trans.
Namun, terkait apa yang ia tulis saat itu, Chris menjelaskan:
“Dalam Homonograf, aku menulis dengan asumsi bahwa dunia terdiri dari proses-proses yang saling memengaruhi; satu-satunya cara untuk memahaminya adalah dengan melihatnya sebagai sesuatu yang terus berkembang. Pemahaman semacam itu dicapai melalui proses abstraksi, karena kita tidak dapat menangkap totalitas realitas sekaligus. Kita perlu bergeser dari satu sudut pandang ke sudut pandang lain, dari satu tingkat keumuman ke tingkat berikutnya, dalam mengkaji persoalan apa pun. Tujuanku adalah memahami pandangan Rand tentang homoseksualitas dan menelusuri sebab-akibat timbal-baliknya, baik bagi para pengikutnya maupun bagi individu LGBTQ+ yang tertarik pada pemikirannya yang kerap dianggap seperti ngengat yang tertarik pada api, yang kadang justru membakar dirinya sendiri. Tetapi aku juga ingin tahu mengapa sebagian dari mereka tidak terbakar; mengapa beberapa justru menerima keunikannya dan tumbuh darinya.”
Karya ini ditulis dengan membayangkan audiens Objectivist; oleh karena itu, nuansa konservatifnya masih akan lumayan terasa. Namun, seperti telah dijelaskan, inti monograf ini sebenarnya merupakan kajian mengenai pengalaman subjektif orang-orang LGBTQIA+ dan cisheteroseksual yang terlibat dalam gerakan Objectivist, sebagai upaya memahami kondisi objektif mereka. “Situasi” yang dimaksud disini adalah kenyataan bahwa banyak kaum muda queer merasa terhubung dengan karya-karya fiksi Ayn Rand pada abad ke-20 hingga awal abad ke-21 karena melihat semangat individualisme, perbedaan, dan ekspresi diri yang tampak menantang ideologi kapitalisme di dalamnya.
Seperti ditulis Roderick Long:
“Pertimbangkan arsitektur perusahaan milik Francon dan Heyer, lalu Francon dan Keating, dalam The Fountainhead (1943). Kepala perusahaan, Guy Francon, adalah maniak yang gemar mengambil kredit atas pekerjaan bawahannya dan lebih peduli pada warna dasi mereka daripada kualitas hasil kerja. Sebagian besar bisnis dalam novel itu digambarkan serupa, dengan pengecualian beberapa tokoh seperti miliarder self-made Roger Enright. Sebagian besar karakternya justru berasal dari kelas pekerja.”
Dalam Atlas Shrugged (1957), Rand menempatkan kapitalis heroik sebagai tokoh sentral. Menurutku, di sinilah terjadi pergeseran besar. Namun, bahkan di sana, di samping setiap pengusaha heroik seperti Dagny Taggart atau Hank Rearden, hadir pula figur plutokrat pencari rente seperti James Taggart dan Orren Boyle. James Taggart,yang merupakan atasan Dagny kerap mengambil semua pujian atas keberhasilan Dagny sekaligus menimpakan kesalahan kepadanya. Menariknya, aktivis serikat pekerja Fred Kinnan, yang dianggap sebagai “penjahat” dalam novel, justru digambarkan jauh lebih simpatik dibanding banyak karakter pengusaha dan birokrat lain.
Identifikasi Rand dengan kelas kapitalis tampaknya muncul agak terlambat dalam kariernya—tidak sebelum era Atlas.
Lebih jauh lagi, seperti ditunjukkan Sciabarra dalam salah satu unggahan Facebook-nya, “Galt’s Gulch praktis merupakan utopia koperasi agraris swakelola, di mana penduduk menanam buah, memelihara ayam dan sapi, menjadi petani, pekebun, dan pekerja kerah biru tanpa campur tangan perusahaan atau negara yang menindas.” Namun, meskipun Rand menampilkan tema-tema pembebasan dan pasca-kapitalisme dalam karya-karyanya, ketika kaum LGBTQIA+ mencoba mendekati gerakan Objectivist yang nyata, mereka sering kali justru berhadapan dengan tradisi konservatif dan homofobik, disertai fetisisasi atas “individualisme” kapitalis yang kosong. Sciabarra pun berusaha mencari penyebabnya dan kemudian menawarkan penjelasan logis mengapa hal itu tidak seharusnya terjadi.
Setelah konteks monograf ini terbangun, tibalah saatnya menjelaskan garis besar isinya. Setelah dibuka dengan kata pengantar dari Lindsay Perigo—pendiri SOLO (Sense of Life Objectivists) dan editor The Free Radical—yang kemudian diikuti oleh kata pengantar dan pendahuluan dari Sciabarra (keduanya layak dibaca), pembahasan langsung masuk pada pandangan pribadi Ayn Rand dan para Objectivist awal mengenai homoseksualitas.
Spoiler: pandangan mereka sangat mengerikan. Rand dan Nathaniel Branden muda menggambarkan homoseksualitas sebagai “gejala disfungsi psikologis, imoralitas altruistik, … kerusakan sastra[,]” serta “perayaan modern atas ketidaknormalan.” Selain itu, salah satu alasan utama Rand menolak Gerakan Pembebasan Perempuan adalah karena gerakan tersebut mendukung hak-hak perempuan queer dan pekerja seks. Seluruh bagian ini pada dasarnya berporos pada respons terkenal Rand saat ia ditanya mengapa ia menganggap homoseksualitas sebagai tindakan yang tidak bermoral:
“Karena itu cacat psikologis, korupsi, kekeliruan, atau premis yang keliru, dan mencerminkan imoralitas psikologis di akarnya. Oleh karena itu saya menganggapnya tidak bermoral.
Namun saya akan menentang upaya pemerintah untuk melarangnya. Itu adalah hak legal mereka, selama ia tidak memaksakannya kepada siapapun. Jadi, gagasan bahwa perilaku itu diperbolehkan di antara orang dewasa yang saling menginginkan memang merupakan formulasi yang tepat secara hukum. Secara moral, tindakan tersebut tetap tidak bermoral, dan lebih dari itu, jika Anda ingin pendapat saya yang benar-benar jujur, itu sangat menjijikkan.”
Pernyataan ini bukan sekadar mengandung penolakan moral; ia menegaskan pola pikir yang kemudian diulang oleh banyak paleolibertarian modern: menolak undang-undang anti-LGBTQIA+, namun tetap menegaskan homofobia dan heteronormativitas budaya.
Sciabarra kemudian menelusuri pandangan para Post-Randian. Leonard Peikoff, misalnya, menulis bahwa “pemuda sensitif yang berpikir terlalu kritis tidak cocok dengan stereotip kultural terhadap laki-laki macho,” sehingga mereka akan tertarik kepada laki-laki yang lebih “maskulin”. Pandangan ini hampir identik dengan teori-teori Freudian awal tentang homoseksualitas sebagai penyimpangan perkembangan maskulinitas.
Sebaliknya, seperti yang dijelaskan Sciabarra dalam Ayn Rand: The Russian Radical, “Branden menunjukkan banyak perkembangan dalam pandangannya tentang homoseksualitas.” Dahulu ia meyakini bahwa batasan gender biner yang kaku mutlak diperlukan untuk “sepenuhnya menumbuhkan kesadaran setiap individu akan aspek maskulin dan feminin dalam dirinya,” sehingga ia melihat non-heteroseksualitas sebagai penyimpangan dari proses perkembangan tersebut. Namun, di kemudian hari pandangannya bergeser: ia mulai mengakui bahwa orientasi seksual seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor, dan oleh karena itu tidak layak dijadikan dasar penilaian moral. Chris juga pernah menceritakan kepada saya bahwa ketika ia mengungkapkan kepada Branden bahwa dirinya gay, Branden menanggapinya dengan meminta maaf atas dampak tulisan-tulisannya tentang homoseksualitas. Branden mengatakan bahwa ada beragam bentuk seksualitas, dan bahkan sains maupun filsafat modern pun belum mampu sepenuhnya menjelaskan heteroseksualitas. Perkembangan pemikiran Branden ini mencerminkan pergeseran menuju posisi yang setidaknya tampak “netral,” dan dalam beberapa kesempatan bahkan lebih positif, terhadap homoseksualitas. Perubahan seperti ini, walau kecil, menjadi tanda pergeseran menuju sikap lebih netral, bahkan positif, terhadap homoseksualitas. Sciabarra mengutip tulisan Damian Moskovitz “Is It Moral to be Homosexual?”, David C. Adams “Rand Among the ‘Queers’”, dan Nick Wiltgen “Employment ‘Rights’ vs. Equal Rights.” Ia juga menyoroti The Rattigan Society—sebuah kelompok Objectivist yang menamai diri mereka berdasarkan Sir Terence Rattigan, dramawan Romantis Inggris yang secara terbuka gay—yang menegaskan bahwa diskriminasi homofobik bersifat “irasional” dan bahwa idel-ide Rand memiliki ruang penting bagi individu LGBTQIA+. Secara khusus, mereka menekankan penggunaan tekanan pasar (mengedukasi publik, melakukan boikot pribadi, dan sebagainya) terhadap bisnis yang melakukan praktik diskriminatif.
Namun, kemajuan yang jujur saja sangat minimal ini tidak mampu menutupi sikap homofobik yang nyaris bersifat kultus dalam gerakan Objectivist, baik di masa lalu maupun masa kini. Di sinilah bagian yang tepat disebut Sciabarra sebagai “Horror File” muncul. Bagian ini memuat insiden-insiden homofobia (serta, tentu saja, heteroseksisme dan heteronormativitas) yang dialami langsung oleh individu-individu dalam gerakan Objectivist, sebagian besar disamarkan, dan dikumpulkan melalui berbagai wawancara serta survei. Saya menyarankan siapa pun yang rentan terhadap pemicu terkait isu-isu ini—meskipun seharusnya sudah jelas dari keseluruhan bahasan—untuk membaca bagian ini dengan perhatian ekstra. Salah satu kisah yang paling mengganggu adalah mengenai “Ricky.” Ricky adalah seorang Objectivist dan seorang biseksual aktif pada tahun 60-an. Pada masa itu, perilaku homoseksual masih merupakan tindak kriminal, dan Ricky, seperti “banyak responden gay dalam survei [Sciabarra] … memeluk Objectivism karena [mereka] menolak moralisme agama institusional.” Namun ia tidak menemukan penerimaan di antara para pengikut Rand. Pacar Objectivist-nya mengetahui orientasi seksualnya dan kemudian menyebarkannya kepada orang-orang dalam lingkaran sosial terdekat Ricky. Akhirnya, ia ditekan untuk menemui seorang “terapis Objectivist” (saya benar-benar harus membaca ulang istilah itu saat pertama kali menemukannya. Kemiripannya dengan ‘profesional’ kesehatan mental Kristen yang mendorong ‘terapi’ konversi sangat mencolok). “Terapis” ini menegaskan bahwa homoseksualitas adalah sesuatu yang salah dan bahwa Rand sepenuhnya meyakini pandangan tersebut. Saya tidak akan mengungkapkan keseluruhan kisah Ricky, tetapi pada akhirnya ia merasa harus meninggalkan Objectivism sepenuhnya karena pengalaman itu—karena homofobia Rand dan kurangnya penghargaan terhadap keberadaannya. Horror File dipenuhi kisah-kisah serupa dalam berbagai tingkat keparahan. Akhirnya, karena tekanan dan penolakan itu, Ricky meninggalkan gerakan Objectivist sepenuhnya. Horror File berisi banyak kisah serupa dengan beragam derajat kekerasan yang berbeda-beda.
Namun, berlawanan dengan kisah-kisah tersebut, Sciabarra berpendapat bahwa “mulai tampak tanda-tanda perubahan dalam sikap terhadap homoseksualitas di antara mereka yang terlibat dalam lingkaran Objectivism, meski pada tingkat yang berbeda-beda pula.” Bagi sebagian orang, perbedaan ini muncul dari perkembangan pribadi yang berlangsung selama bertahun-tahun. Sebagai contoh, “Johnathan”—seorang akademisi yang terlibat dalam gerakan Objectivist awal—pada mulanya melihat homoseksualitas sebagai sesuatu yang sangat tidak wajar. Namun, meskipun pandangannya tidak benar-benar berubah menjadi lebih ‘tercerahkan,’ ia akhirnya menjadi lebih nyaman dengan isu tersebut dan bahkan pernah menjadi penasihat fakultas untuk Gay and Lesbian Society di kampusnya. Bagi yang lain, perubahan ini lebih merupakan hasil perbedaan antargenerasi, dengan Objectivist yang lebih muda cenderung lebih terbuka terhadap queerness dan seksualitas non-konformis—termasuk identitas LGBTQIA+ maupun praktik seperti BDSM dan polyamory. Namun, bahkan di tengah perkembangan ini selalu disertai pula dengan banyak insiden homofobia—baik langsung maupun tidak langsung—di antara kelompok lama maupun yang lebih muda. Yang menarik, beberapa Objectivist menyebut adanya keyakinan atau kecurigaan bahwa beberapa hubungan antar tokoh laki-laki dalam karya Rand bersifat homoerotik. Hal ini mengarah pada bab berjudul “Male Bonding in the Randian Novel,” dimana Sciabarra mencatat bahwa banyak responden surveinya merasa terhubung dengan hubungan yang mungkin bersifat homoerotik antara Howard Roark dan Gail Wynand dalam The Fountainhead, serta antara Hank Rearden dan Francisco d’Anconia dalam Atlas Shrugged. Ia kemudian mengaitkan temuan tersebut dengan sejumlah kajian akademik oleh Roderick Long (salah satu penafsir Rand yang sangat saya hormati), Slavoj Žižek, Judith Wilt, Melissa Jane Harie, dan bahkan Rand sendiri, yang semuanya menunjukkan adanya unsur homoerotik dalam karya-karya Rand.
Untuk menutup pembahasannya, Sciabarra mengemukakan dua hal:
a) sebuah perspektif baru mengenai hubungan Rand dengan gender non-konformis dan seksualitas, dan
b) kemungkinan model-model baru pembebasan queer yang berakar pada pemikirannya.
Upaya pertama ini didasarkan pada pernyataan bahwa “pada akhirnya, antipati Rand terhadap homoseksualitas tidaklah sepenuhnya logis atau filosofis; ia lebih merupakan cerminan dari preferensi pribadinya,” bahwa “kita dapat dan perlu membedakan antara sikap, selera, atau preferensi pribadi Ayn Rand sebagai individu dan gagasan filosofis inti dari filsafat yang ia sebut Objectivism,” serta bahwa “kini para Objectivist jauh lebih cenderung membuat pembedaan yang [terakhir] ini.”
Sciabarra menunjukkan bahwa Rand sendiri memiliki hubungan personal yang rumit dengan isu gender dan seksualitas. Ia sangat dekat dengan iparnya, Nick O’Connor (atau Nick Carter), yang sangat mungkin merupakan pria gay yang hidup secara “discreet”. Lebih jauh, setelah menanyakan kepada sejumlah orang yang mengenal Rand secara pribadi apakah mereka pernah mendengar Rand berkomentar mengenai homoseksualitas dalam percakapan pribadi, “tidak ada yang menyatakan bahwa Rand pernah bersikap merendahkan atau tidak menghormati, atau ia pernah menggunakan makian di belakang orang lain mengenai homoseksualitas.”
Selain itu, banyak pihak telah menyoroti bahwa Rand adalah perempuan yang terkesan sangat maskulin, bahkan ada pula yang berspekulasi tentang kemungkinan tendensi Rand sebagai “butch bisexuality”, meskipun hal ini tidak pernah dapat dibuktikan. Dan seperti yang ditulis Sciabarra, seseorang bisa saja sampai pada “kesimpulan provokatif bahwa Rand adalah seorang pria gay yang terperangkap dalam tubuh seorang perempuan heteroseksual. Itu adalah jenis metafora yang akan dinikmati oleh para profesor Kajian Queer dalam upaya memahami baik pandangan Rand tentang gender dan seksualitas maupun dinamika psikologisnya yang jauh lebih kompleks sebagai seorang manusia.” Kesimpulan ini tampak berlebihan (dan agak bermasalah), tetapi maksudnya jelas: Rand—seperti siapa pun jika dilihat lebih dekat—memiliki dinamika gender dan seksualitas yang rumit dan multidimensional.
Bagian kedua (b) mungkin merupakan bagian yang paling lemah, tetapi barangkali hal itu karena proyek filosofis ini memang sulit dan masih jauh dari selesai. Melanjutkan argumen bahwa pandangan pribadi Rand dapat dipisahkan dari Objectivism, Sciabarra mengusulkan bahwa Objectivism dapat menjadi dasar bagi suatu filsafat pembebasan queer yang menentang “bias anti-gay [yang] merupakan manifestasi kolektivisme” dalam bentuk kanan maupun kirinya.
Sebagaimana ia tulis, “apapun pengaruh Lavender Left terhadap gerakan pembebasan seksual, para Marxis … dahulu berpendapat bahwa homoseksualitas merupakan bentuk penyimpangan, suatu tanda dekadensi ‘borjuis’,” dan bahwa “kaum Komunis menggunakan gulag dan ‘reconditioning’ psikologis sebagai bagian dari ‘revolusi budaya’ mereka untuk memberantas homoseksualitas.” Namun penindasan ini “juga terjadi di Jerman Sosialis Nasional pimpinan Hitler, tempat para ‘anti-Marxis’ terkenal itu—kaum Nazi—menggunakan Segitiga Merah Muda untuk mengidentifikasi, mengurung, memperbudak, mengebiri, melakukan eksperimen terhadap, atau membunuh kaum homoseksual.” Saya tidak berpikir Sciabarra bermaksud demikian, tetapi argumen ini seolah bertumpu pada anggapan keliru bahwa semua bentuk kolektivisme pada dasarnya sama (padahal terdapat perbedaan yang sangat fundamental antara nasionalisme pemukim-imperialis Amerika Serikat dan perjuangan anti-kolonial bangsa-bangsa terjajah), dan juga mengecilkan perbedaan peran yang sangat signifikan antara libertarian kiri dan kanan dalam sejarah pembebasan queer—bahkan jika, seperti yang dilakukan Sciabarra, yang “menyatukan konservatif modern, liberal klasik, dan libertarian radikal” di spektrum kanan dan mulai dari kaum individualis dan mutualis hingga anarko-komunis dan kaum komunal di spektrum kiri, anarkisme kiri telah lama menjadi bagian dari perjuangan atas hak-hak individu maupun kolektif komunitas LGBTQIA+. Sedangkan para libertarian kanan? Tidak begitu.
Kelemahan terakhir ini muncul kembali ketika Sciabarra membahas apa yang ia sebut sebagai “gay kanan,” karena ia berargumen bahwa “di antara para intelektual ‘gay kanan’ terdapat mereka yang berupaya melampaui dikotomi kiri dan kanan, membongkar kerangka politically correct yang usang dan tidak memiliki toleransi terhadap keberagaman yang sejati.” Saya enggan mengatakannya, tetapi pernyataan ini terasa sangat mirip dengan retorika dog-whistle yang biasa dipakai para kripto-konservatif dan para apologis fasis/alt-right seperti Dave Rubin. Namun, Chris menekankan kepada saya bahwa maksud utama dari pernyataan tersebut adalah untuk memberikan selling point bagi para Objectivist yang menganggap identitas LGBTQIA+ sebagai ancaman politik terhadap kebebasan individu melalui negara. Dan meskipun secara pribadi saya tidak melihat banyak nilai eksplisit dalam pendekatan yang merayu ketakutan dan paranoia sayap kanan seperti itu, saya tetap meyakini dengan kuat bahwa Sciabarra jujur dalam argumen terakhirnya bahwa:
“Karya-karya Ayn Rand mendukung keberagaman. Ia menunjukkan bagaimana manusia dapat berkembang dan mencapai potensi terbaiknya tanpa terhambat penindasan pribadi, budaya, atau politik. Karyanya juga memandang cinta sebagai respons terhadap nilai. Karyanya mengajukan pandangan luhur tentang cinta sebagai wujud penghargaan atas nilai, dan warisan ini tersedia bagi setiap individu yang rasional—apapun orientasi seksualnya.”
Pada akhirnya, meskipun pemikiran Rand kadang dapat berguna, saya tetap merasa sulit untuk meyakini bahwa seorang homofob seperti Rand—yang gerakannya sering kali, dan sangat eksplisit, berkomitmen mempertahankan tradisi kapitalisme Anglo-Amerika secara tidak kritis (kecuali elemen-elemen paling dangkal dari Kekristenan puritan), yang berakar pada supremasi kulit putih, cis heteronormativitas, imperialisme, dan settler colonialism—dapat menjadi fondasi ideologis utama bagi pembebasan queer.
(Sebagai bukti, perhatikan poin Long bahwa “Rand menyangkal bahwa Amerika Serikat adalah kekuatan imperialis; menolak kompleks industri-militer sebagai ‘mitos atau lebih buruk dari itu’; mendukung penyensoran aktivis anti-perang; berpihak pada aliansi berisiko dengan Israel, Taiwan, dan wilayah-wilayah pemantik konflik lainnya; dan tidak melihat masalah moral dalam membom warga sipil tak bersalah.” Lihat pula komentar anti-masyarakat adat serta imperialis/anti-Arabnya dalam Ayn Rand Answers: The Best of Her Q & A, komentar anti-Afrika dalam Capitalism: The Unknown Ideal, serta artikel yang tersohor buruk itu, “The Christopher Columbus Controversy: Western Civilization vs. Primitivism,” yang ditulis Michael Berliner dari Institute Ayn Rand.) Mungkin argumen yang lebih menguntungkan dapat dibangun dengan merujuk pada gagasan Roland Barthes dalam “The Death of the Author,” di mana ia berpendapat bahwa “memberi sebuah teks Seorang Pengarang berarti memberinya batas, memberinya makna final, menutup penulisan itu.” Ini memberi legitimasi pada pembacaan homoerotik dalam Atlas Shrugged dan The Fountainhead. Tetapi bisakah kita, pada saat yang sama, menahan diri untuk tidak memberi “seorang Pengarang kepada sang Pengarang”? Memang, dari sudut pandang teori sastra, seorang pengarang “terbentuk” dari teks-teksnya. Namun jika kita mengikuti jalur itu terlalu jauh, kita akan masuk ke pembahasan luas yang mulai terlepas dari argumen-argumen inti dalam monograf tersebut.
Sciabarra mengutip Paul Ricoeur: tulisan memiliki kehidupan terpisah dari penulisnya dan mengembangkan konsekuensi sendiri, melampaui konteks awalnya. Oleh karena itu, setiap filsafat yang menekankan pengembangan diri, otonomi, dan perjuangan melawan penindasan di semua dimensi—etika, budaya, politik—dapat digunakan untuk melampaui pandangan sempit penciptanya. Hal yang sama, katanya, berlaku juga untuk Marx dan Engels.
Roderick Long kemudian menambahkan:
Ada dua Rand dalam satu tubuh, yaitu Rand yang libertarian kiri, feminis, anti-militer, anti-korporatis, dan penuh empati; serta Rand yang konservatif, patriarkal, homofobik, dan dogmatis. Keduanya hidup berdampingan, dan justru dialektika itulah yang membentuk kompleksitasnya.
Pertanyaan yang lebih baik untuk dimunculkan adalah: arus mana yang paling akurat dalam mengekspresikan prinsip-prinsip mendasarnya? Dan bagi saya, jawabannya jelas adalah: arus libertarian kiri.
Namun, bahkan dengan penafsiran dialektis Sciabarra, Objectivism tetap gagal memenuhi kebutuhan material bagi pembebasan queer. Hyperfocus Rand pada dimensi individu yang terisolasi membuatnya mengabaikan dimensi struktural kekuasaan yang membentuk seksualitas dan gender. Bagi banyak libertarian kiri, kegagalan ini justru menjadi bukti bahwa sumber penindasan tidak hanya terletak pada negara, tetapi juga pada kapitalisme itu sendiri. Saya pun belum yakin bahwa hal ini mengubah kenyataan bahwa filsafat Rand—meskipun bersifat materialis dan, melalui tafsiran Sciabarra, dapat dibaca sebagai suatu teori kekuasaan yang lebih bernuansa—tetap pada dasarnya tampak tidak memiliki, dalam hampir seluruh praktik dan teori populernya, landasan material yang diperlukan bagi pembebasan queer. Sebagai contoh, meskipun memiliki pandangan anti-negara, Rand tidak pernah benar-benar menjelaskan—atau bahkan mengakui—basis material dari pemaksaan keseragaman seksual (dan biner gender) yang dibutuhkan untuk menghasilkan subjek-subjek yang dapat dibaca, dikendalikan, dan diproduksi dalam kerangka kapitalisme negara. Karena itulah Objectivism terus gagal memahami persoalan semacam ini: ia memusatkan perhatian pada “pembebasan” subjek-subjek atomistis dari bentuk kekuasaan yang paling dangkal, sambil mengabaikan struktur yang jauh lebih kompleks. Namun, bukankah justru upaya untuk memperbaiki kekurangan tersebut menjadi inti dari monograf Sciabarra? Jika para murid Rand kontemporer yang beritikad baik benar-benar menentang negara dan segala bentuk manipulasi sosialnya, mungkin mereka juga akan menyadari—sebagaimana yang dilakukan Sciabarra—bahwa, setidaknya bagi kaum queer, kapitalisme bukanlah “ideal yang belum dikenal,” melainkan “realitas yang sudah sangat dikenal.”
Dan terlepas dari spekulasi idealistis (namun materialis) ini, kenyataannya adalah bahwa Rand telah—dan kemungkinan besar akan selalu—memiliki pengaruh yang signifikan terhadap gerakan kebebasan jauh melampaui para penganut ortodoksnya. Itu tidak bisa dipungkiri. Dan jika gerakan kita ingin benar-benar bersifat membebaskan, kita harus membersihkan diri dari segala bentuk bigotri reaksioner, whatever it cost!. Seperti yang ditulis Sciabarra dalam Total Freedom, “Sebagaimana relasi kuasa beroperasi melalui dimensi etis, psikologis, kultural, politik, dan ekonomi, demikian pula perjuangan demi kebebasan dan individualisme tentu bergantung pula pada konstelasi faktor moral, psikologis, dan kultural tertentu.”
Dalam banyak hal, inilah salah satu dasar fundamental dari thick libertarianism, yang didefinisikan oleh kolega saya, Nathan Goodman sebagai “upaya untuk memperluas fokus perjuangan libertarian untuk melampaui sekadar agresi dan peran negara, tapi menuju analisis tentang kondisi budaya dan sosial yang memungkinkan kebebasan diaplikasikan secara nyata.” Terlepas dari kritik dari kalangan libertarian kanan, saya sependapat dengan banyak kolega saya di C4SS bahwa perdebatan itu telah selesai. Kita semua kini mungkin adalah thick libertarian. Pertanyaan penting selanjutnya tinggal: nilai mana yang kita pilih? Nilai-nilai reaksioner ala Randroid, Koch-heads, dan tokoh-tokoh seperti Hans-Hermann Hoppe dan Keith Preston (yang entah bagaimana percaya bahwa bersekutu dengan kaum fasis dapat menghasilkan pembebasan), atau nilai-nilai pembebasan dari libertarian kiri—dari anarkis pasar kiri hingga kiri-minarkis dan bleeding-heart libertarians—seperti Long, Charles Johnson, Kevin Carson (yang sekarang menyebut dirinya anarkis tanpa kata sifat), Philippe Van Parijs, Peter Vallentyne, dan Matt Zwolinski. Dengan demikian, monograf Sciabarra berfungsi sebagai salah satu pilar utama dalam pembentukan gagasan-gagasan thick libertarianism. Karya ini menegaskan bahwa tidak cukup bagi kita semua untuk sekadar tidak menggunakan negara sebagai alat menindas komunitas LGBTQIA+. Kita harus melangkah lebih jauh dengan menantang pula budaya yang melahirkan kekerasan-kekerasan ini baik fisik maupun nonfisik. Seperti yang dijelaskan Marshall Rosenberg:
“Kebanyakan orang memahami kekerasan sebagai upaya melukai seseorang secara fisik. Namun, kita juga harus memandang kekerasan sebagai setiap bentuk penggunaan kuasa atas orang lain, upaya memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu. Itu mencakup penggunaan punishment and rewards, serta berbagai macam manipulasi untuk menghadirkan rasa bersalah, rasa malu, serta perasaan kewajiban dan tuntutan. Dalam pengertian yang lebih luas, kekerasan adalah setiap penggunaan power untuk memaksa orang lain bertindak diluar kehendaknya sendiri. Kekerasan juga mencakup sistem apa pun yang mendiskriminasi orang dan menghalangi akses setara terhadap sumber daya dan keadilan.”
Hal-hal inilah yang betul-betul dipahami Sciabarra dan menjadi dasar seluruh karyanya. Ia telah dan tentu terus mengembangkan argumen yang sangat mendalam, meyakinkan, dan holistik tentang mengapa pemikiran Rand dapat dibaca sebagai sebuah gagasan yang benar-benar membebaskan.
Dan tentu saja, jika Anda seorang Objectivis, monograf ini jelas harus menjadi bacaan wajib.
Seluruh hasil publikasi didanai sepenuhnya oleh donasi. Jika kalian menyukai karya-karya kami, kalian dapat berkontribusi dengan berdonasi. Temukan petunjuk tentang cara melakukannya di halaman Dukung C4SS: https://c4ss.org/dukung-c4ss.






