Oleh: Anon. Teks aslinya berjudul “Revolution in Rojava: Democratic Autonomy in Kurdistan.” Diterjemahkan oleh Iman Amirullah
Bangsa Kurdi adalah bangsa tanpa negara terbesar di dunia. Diperkirakan 40 juta orang Kurdi tinggal di Iran, Irak, Suriah, dan Turki. Terlepas dari asal-usul dan praktik budaya bersama mereka, keempat negara ini telah menolak pengakuan Kurdi atas identitas atau otonomi mereka sebagai minoritas yang berbeda dengan budaya dan bahasa mereka sendiri. Pada waktu dan tempat yang berbeda, Kurdi telah melawan penindasan ini melalui perjuangan bersenjata atau organisasi politik. Contoh terbaru dari hal ini adalah di Suriah Utara di mana Kurdi membentuk sekitar sepuluh persen dari populasi. Pada tahun 2012, terinspirasi oleh Musim Semi Arab tetapi juga dengan konflik bersenjata dengan pemerintah Suriah, Kurdi di sana membentuk Dewan Rakyat untuk memobilisasi secara politik untuk otonomi yang lebih besar dari Damaskus dan kekuatan regional lainnya seperti Turki yang mungkin berusaha untuk mengeksploitasi Suriah yang tengah melemah. Mereka juga menciptakan dewan lokal yang disebut “mesh’ets” untuk mendesentralisasi kontrol atas sekolah, pusat kesehatan, dan layanan kota di seluruh Rojava (atau “Kurdistan Barat “), yang merupakan rumah bagi sekitar 30% dari semua Kurdi Suriah. Terakhir, terinspirasi oleh Murray Bookchin dan sosialisme libertarian secara lebih luas —serta oleh pejuang anarkis Perang Saudara Spanyol— Dewan Rakyat mengadopsi dewan ketiga yang disebut “Pemuda Revolusioner” sebagai garda depan ideologis untuk mendidik kaum muda tentang otonomi demokratis dan apa artinya menjadi sosialis revolusioner baik dalam ucapan maupun tindakan.
Anarkis adalah radikal anti-otoritarian yang percaya pada demokrasi langsung, bentuk organisasi horizontal, dan ekonomi koperasi. Mereka menolak semua bentuk negara, berbagai bentuk dominasi kapitalisme, dan hierarki sosial seperti rasisme, seksisme, dan spesiesisme. Mereka percaya pada kebebasan bagi semua orang untuk menentukan nasib mereka sendiri yang bebas dari paksaan oleh mayoritas, elit, atau negara. Alat utama mereka untuk mencapai ini adalah pemerintahan mandiri yang demokratis dan horizontal, serta organisasi kooperatif dan gotong royong. Ada banyak jenis anarkisme. Anarko-sindikalisme berfokus pada kontrol pekerja terhadap sarana produksi. Anarka-feminisme berfokus pada pembebasan perempuan melalui tindakan langsung anti-kapitalis. Ekologi sosial berfokus pada kelestarian lingkungan. Mutualisme berfokus pada kontrol pekerja terhadap sarana distribusi melalui koperasi. Dan munisipalisme libertarian berfokus pada swakelola masyarakat.
Sosialisme libertarian adalah filsafat politik anti-otoritarian yang membayangkan masyarakat yang egaliter, kooperatif, dan anti-kapitalis. Ini muncul pada awal abad ke-20 sebagai kritik terhadap baik sosialisme negara dan kapitalisme. Beberapa pemikir utama di balik sosialisme libertarian termasuk Peter Kropotkin, Élisée Reclus, Norman Bethune, Gustav Landauer, Erich Fromm, dan – yang paling penting untuk Revolusi Rojava– filsuf Amerika dan eko-sosialis Murray Bookchin. Bookchin adalah bapak modern dari sosialisme libertarian. Dia adalah seorang eko-sosialis di mana dia percaya bahwa pengejaran keuntungan tanpa akhir dari kapitalisme menghasilkan penggunaan sumber daya yang tidak berkelanjutan, konflik sosial, dan degradasi lingkungan, kecuali jika digantikan oleh produksi yang ramah lingkungan, berkelanjutan, terdesentralisasi, demokratis, dan kooperatif (bukan keuntungan, ada perbedaan disini). Ada banyak pemikir libertarian yang percaya bahwa ini adalah contoh masyarakat berbasis non-negara yang harus menjadi inspirasi bagi orang lain di seluruh dunia. Murray Bookchin adalah salah satu pemikir seperti itu yang sangat mendukung ide ini. Dia percaya bahwa orang harus bebas untuk membuat pilihan mereka sendiri di masyarakat tanpa campur tangan pemerintah. Dia juga percaya bahwa masyarakat terdesentralisasi lebih mungkin untuk menjadi damai daripada negara-negara terpusat karena mereka dapat lebih baik dalam mengatasi kebutuhan dan keluhan lokal tanpa harus melalui pejabat pemerintah atau elit yang kuat yang mungkin mencoba menggunakannya untuk keuntungan mereka sendiri. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa masyarakat yang terdesentralisasi dapat lebih berkelanjutan dari waktu ke waktu karena mereka tidak akan bergantung pada bahan bakar fosil atau hal-hal yang tidak berkelanjutan lainnya. Anti-otoritarianisme Bookchin diungkapkan dalam keyakinannya bahwa orang-orang dapat berkumpul dalam komunitas mereka untuk mengatur diri mereka sendiri melalui demokrasi langsung.
Sosialis secara historis berpendapat bahwa kelas pekerja adalah aktor utama untuk mencapai revolusi dan masyarakat baru berdasarkan kepemilikan kolektif dari sarana produksi. Di masa lalu, ini terwujud sebagai partai pelopor yang mengambil kendali negara dan memaksakan sosialisme dari atas. Revolusi Rojava berbeda dalam hal membayangkan revolusi egaliter, demokratis, desentralisasi, dan anti-kapitalis dari bawah. Ini tidak dimulai dengan pekerja yang merebut sarana produksi —seperti dalam revolusi Rusia atau Tiongkok— tetapi dengan orang-orang yang mengambil kendali atas komunitas mereka sendiri melalui pemerintahan sendiri berupa dewan demokratis. Dewan membentuk jaringan demokrasi langsung yang mewakili kepentingan rakyat di wilayah tertentu. Pendekatan “bottom-up” terhadap sosialisme ini telah dikenal sebagai “konfederalisme demokratis.”
Revolusi Rojava adalah tentang mencapai otonomi untuk semua rakyat Suriah, tidak hanya Kurdi. Etnis minoritas seperti Asyur, Turkmen, Armenia, dan Arab memiliki Dewan Rakyat mereka sendiri dan dewan mereka sendiri di Rojava. Partai Persatuan Demokratik (PYD), organisasi politik utama di balik revolusi, telah terbuka untuk partisipasi non-Kurdi dalam menjalankan dewan pemerintahan sendiri Rojava. Meskipun begitu, PYD tetap menjadi organisasi politik Kurdi terbesar di wilayah tersebut dan telah mendapatkan lebih banyak dukungan daripada saingannya, Partai Demokrat Kurdistan. Revolusi Rojava juga tentang feminisme. Penindasan perempuan terbukti bertahan lebih lama daripada yang diperkirakan sebagian besar kaum revolusioner —dan bahkan saat ini tetap menjadi masalah sentral di dunia. Di Rojava, perempuan membentuk 40% dari Dewan Rakyat dan 30% dari Pemuda Revolusioner. Mereka memiliki Asosiasi Perempuan Bebas mereka sendiri yang sangat penting untuk menyebarkan konfederalisme demokratis di seluruh Rojava.
Ketika Revolusi tengah berlangsung, ia telah menciptakan jaringan “dewan” yang memerintah sendiri: majelis terdesentralisasi yang mengatur beragam orang di wilayah ini berdasarkan kebutuhan dan identitas unik mereka —dan bukan kategori etno -religius mereka. Ini termasuk Dewan Rakyat yang disebutkan di atas, yang mengatur mayoritas penduduk Kurdi; Dewan Asyur, yang mengatur minoritas Asyur; dan Dewan Perempuan, yang mengatur minoritas orang Yazidi dan kelompok etnis lainnya. Ada juga Dewan Ekonomi, yang mengatur koperasi dan organisasi ekonomi lainnya yang dimiliki dan dioperasikan oleh masyarakat Rojava secara bottom-up, model kooperatif, karena model masyarakat komunal yang bekerja dalam konteks persetujuan bersama dari orang-orang yang tidak memiliki negara dan tetap bersatu demi keuntungan bersama dapat dianggap sebagai model bottom-up. Dan terakhir, ada Dewan Administrasi, yang mengatur berbagai wilayah dan kota Rojava. Semua dewan ini bekerja sama dalam sistem “Konfederasi Demokratis” untuk menciptakan sistem demokrasi langsung dari bawah ke atas yang memberdayakan semua orang di Rojava dan menantang hierarki etno-religius.
Dewan-dewan Rojava adalah contoh konfederalisme demokratis dalam bentuk praktiknya. Mereka bukan organisasi politik top -down yang dijalankan oleh negara seperti Uni Soviet atau Tiongkok modern; mereka adalah majelis mandiri yang terdesentralisasi yang menyatukan orang-orang di komunitas mereka untuk memecahkan masalah dan membuat keputusan secara kolektif. Dewan juga bukan lembaga keagamaan seperti kebanyakan negara-negara Timur Tengah yang berfungsi sebagai negara-bangsa; mereka sekuler. Mereka mengakui kebebasan beragama dan tidak mengharuskan orang untuk berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan untuk berpartisipasi dalam dewan. Dewan-dewan tersebut memiliki tiga fungsi utama. Pertama, mereka mengatur rakyat Rojava melalui demokrasi langsung. Kedua, mereka adalah kekuatan organisasi di balik revolusi. Dan terakhir, mereka adalah jawaban untuk hirarki etno-religius yang telah melanda Timur Tengah. Orang-orang percaya bahwa Arab, Kurdi, dan Turki tidak bisa akur karena prasangka bahwa sistem negara bangsa telah dipupuk. Hal inilah yang menjadikan ide Rojava sebagai solusi.
Fungsi pertama dari dewan adalah pemerintahan melalui demokrasi langsung. Dewan mengadakan pertemuan publik rutin di mana orang-orang berkumpul dan mendiskusikan masalah yang mereka hadapi di komunitas mereka dan memutuskan bagaimana menyelesaikannya bersama-sama. Meskipun pertemuan ini terbuka untuk semua orang, dewan mendorong orang-orang untuk berkumpul dalam kelompok yang terdiri dari enam orang untuk membahas masalah yang lebih intim. Setiap dua minggu, dewan mengadakan rapat umum yang terbuka untuk semua orang. Dewan Rojava menggunakan sistem demokrasi langsung ini untuk mengatasi masalah seperti kelestarian lingkungan, koperasi ekonomi, dan akses perawatan kesehatan. Mereka juga menggunakannya untuk memutuskan topik-topik seperti wajib militer, kebijakan luar negeri, dan peradilan pidana. Fungsi kedua dari dewan adalah sebagai kekuatan organisasi di balik revolusi. Dewan telah membentuk jaringan organisasi pemerintahan sendiri yang mengatur kelompok etno-religius Rojava yang beragam. Jaringan ini disebut “Dewan Revolusioner” dan merupakan kekuatan organisasi di balik Revolusi Rojava. Jaringan dewan inilah yang memberikan rakyat Rojava kekuatan untuk menekan pemerintah mereka untuk membuat keputusan yang demokratis.