Egoisme dan Kekristenan

Alexander W. Craig. Teks aslinya berjudul “Christianity and Egoism” dan merupakan bagian dari  C4SS Mutual Exchange Symposium on Anarchism and Egoism. Diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Ameyuri Ringo.

Saya mulai menulis artikel ini pada Rabu Abu. Pada hari ini, banyak orang Kristen berpuasa, hanya makan satu kali, dan memulai disiplin Prapaskah, berpantang dari segala sesuatu yang biasa dinikmati. Seiring waktu, berbagai tradisi Kristen telah merekomendasikan praktik Prapaskah yang berbeda, tetapi semua yang merayakan Prapaskah melakukannya dengan memberikan sesuatu hingga Jumat sebelum Paskah. Bisakah agama yang mendorong praktik altruisme seperti ini disebut egois?

Yesus Kristus sendiri berkata “Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.” (Matius 16:25) Tema “kematian bagi diri sendiri” ini mengalir memenuhi Perjanjian Baru, dengan ketiga Injil sinoptik mencatat sebuah insiden di mana Yesus mendukung dua perintah sebagai gagasan inti yang menjadi dasar semua ajaran moral lainnya: (1) Kasihilah Allah dengan segala yang Kamu miliki dan (2) cintailah orang lain seperti engkau mencintai dirimu sendiri. Meskipun kejadian ini tidak ada dalam Injilnya, Yohanes mengambil tema yang sama dalam surat pertamanya, mengatakan bahwa jika Allah mengasihi kita, kita juga harus saling mengasihi. Perintah-perintah ini dapat dengan mudah dibaca sebagai sangat anti-egois.

Namun, ada tema lain yang juga mengalir di seluruh pemikiran Kristen: Tidak ada apa pun di Bumi atau di Surga yang akan membuat Allah kurang mengasihi siapapun. Seperti yang telah dikatakan Santo Paulus, “Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.” (Roma 8:38-39) Seperti yang juga ditulis oleh nabi Yesaya, “Sebab biarpun gunung-gunung beranjak dan bukit-bukit bergoyang, tetapi kasih setia-Ku tidak akan beranjak dari padamu dan perjanjian damai-Ku tidak akan bergoyang, firman TUHAN, yang mengasihani engkau.” (Yesaya 54:10) Klaim-klaim ini menyatakan tidak kurang bahwa esensi kebaikan yang mahakuasa dan mahatahu itu sendiri mencintai setiap individu

Santo Paulus bahkan pernah dengan sombong bertanya, “Sebab itu apakah yang akan kita katakan tentang semuanya itu? Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita?” (Roma 8:31) Apakah egois untuk menganggap diri kita sebagai yang sangat dan pasti dicintai oleh sang pencipta? Beberapa kritikus Kekristenan berpendapat bahwa bagi seseorang untuk berpikir bahwa Tuhan menciptakan dunia dan segala sesuatu di dalamnya untuk memiliki hubungan dengan mereka adalah sangat egois.

Cara untuk mendamaikan kedua arus yang saling bertentangan ini memerlukan referensi ke satu ide lagi, yang memiliki banyak sebutan: pemuliaan, keilahian, teosis, pengudusan, dan banyak lagi. Istilah-istilah ini mungkin tidak memiliki arti yang persis sama, tetapi mencakup tema yang cukup mirip: melalui kuasa penyelamatan dari kehidupan, kematian, dan kebangkitan Kristus di dunia, manusia dapat menjadi saleh. Santo Petrus menggambarkannya seperti ini, “Karena kuasa ilahi-Nya telah menganugerahkan kepada kita segala sesuatu yang berguna untuk hidup yang saleh oleh pengenalan kita akan Dia, yang telah memanggil kita oleh kuasa-Nya yang mulia dan ajaib. Dengan jalan itu Ia telah menganugerahkan kepada kita janji-janji yang berharga dan yang sangat besar, supaya olehnya kamu boleh mengambil bagian dalam kodrat ilahi, dan luput dari hawa nafsu duniawi yang membinasakan dunia.” (2 Petrus 1:3-4) Dan Yesus sendiri berkata dengan cukup eksplisit menurut Injil Yohanes: “Kata Yesus kepada mereka: ”Tidakkah ada tertulis dalam kitab Taurat kamu: Aku telah berfirman: Kamu adalah allah?” (Yohanes 10.34)

Orang-orang Kristen memiliki iman dalam janji ini: bahwa dengan mengasihi Tuhan, Yang Mahatahu, Mahakuasa, Pencipta dan Pemelihara semuanya, Dia akan membuat kita “berbagi dalam kodrat ilahi.” Ini bukan untuk mengatakan bahwa kita akan menjadi setara dengan Tuhan atau terserap ke dalam-Nya atau pencipta alam semesta di mana kita akan memainkan peran-Nya, melainkan bahwa kita akan berada dalam harmoni yang sempurna dengan sifat Kebaikan, awal dari segalanya, Tuhan itu sendiri. Kita akan kehilangan hal-hal yang kita anggap milik kita sendiri, tetapi itu hanya hal-hal yang bertentangan dengan sifat kita. “Hari sudah jauh malam, telah hampir siang. Sebab itu marilah kita menanggalkan perbuatan-perbuatan kegelapan dan mengenakan perlengkapan senjata terang! Marilah kita hidup dengan sopan, seperti pada siang hari, jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri hati. Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya.” (Roma 13:12-14)

Jadi, apa yang ada dalam agama Kristen untuk para egois? Ada pengosongan diri, negasi dari apa yang kita bayangkan dan kita inginkan, hilangnya kendali atas arah hidup kita, dan pengakuan ketidakberdayaan kita. Namun melalui ini, datang mengisi dengan kemuliaan segala sesuatu yang baik, dinobatkan sebagai pewaris Kerajaan Surga, dan pemenuhan tertinggi yang tersedia untuk setiap manusia. Para egois dapat ditinggikan, ya, tetapi hanya dengan membiarkan ego mereka mati – dan dilahirkan kembali di dalam Kristus.

Anarchy and Democracy
Fighting Fascism
Markets Not Capitalism
The Anatomy of Escape
Organization Theory