Teks aslinya berjudul: “Why Myanmar’s Military Dictatorships are Fascist Regimes”. Ditulis oleh Hein Htet Kyaw dan diterjemahkan oleh Ameyuri Ringo.
Support Ringo by considering becoming his Patron.
Fasisme dan Penyempitan Maknanya
Istilah fasisme, seperti pernah diperingatkan George Orwell, terlalu sering dilontarkan tanpa makna. Maknanya melebar, menjadi kabur, dan kemudian berubah menjadi sekadar makian politik. Dalam proses tersebut, inti ideologi fasisme justru kerap luput, dan hanya berfokus pada ciri-ciri luarnya saja seperti otoritarianisme, militerisme, atau kekerasan negara. Padahal, meskipun semua itu memang lazim ditemukan dalam rezim fasis, definisi-definisi itu saja tidak cukup untuk menjelaskan fasisme. Meski demikian, bukan berarti fasisme menjadi tidak ada atau sekadar istilah kosong. Ada rezim-rezim tertentu yang memang pantas dan layak disebut fasis. Kediktatoran militer Myanmar termasuk junta yang berkuasa hari ini menjadi salah satu diantaranya.
Militer Myanmar: Produk Tentara Kekaisaran Jepang
Asal-usul militer Myanmar tidak bisa dilepaskan dari Perang Dunia II. Pada masa itu, Kekaisaran Jepang yang merupakan sebuah kekuatan fasis. merekrut dan melatih kaum nasionalis Burma untuk melawan Inggris dan Sekutu. Jepang, saat itu dipandang sebagai bangsa Asia pertama yang berhasil mengalahkan kekuatan Eropa dalam Perang Rusia–Jepang, menjanjikan kemerdekaan bagi Burma sebagai imbalan atas dukungan mereka.
Pada Januari 1942, Burma Independence Army (BIA) dibentuk di bawah kepemimpinan Keiji Suzuki dan Aung San. Awalnya hanya beranggotakan sekitar 2.300 orang, BIA berkembang pesat seiring keterlibatannya dalam invasi Jepang ke Burma. Namun, propaganda mereka gagal menarik dukungan masyarakat Karen, yang tetap berpihak pada Inggris. Kegagalan ini berujung pada pembantaian terhadap lebih dari 1.800 penduduk suku Karen, kekejaman pertama yang membuka watak brutal BIA yang mereka dapatkan dari Jepang.
Memahami Fasisme: dari Sosialisme Internasionalis ke Sosialisme Nasionalis
Pada masanya, Marxisme tampil sebagai “sosialisme ilmiah” yang radikal dan berbeda dari arus-arus sosialisme lain, terutama yang bersifat utopis. Namun, perjalanan internal Marxisme sendiri justru penuh krisis. Dari krisis inilah lahir berbagai aliran revisionis, yang membentang dari sosialisme revolusioner hingga sosialisme evolusioner. Georges Sorel, salah satu pemikir Marxis paling berpengaruh, melihat situasi ini sebagai “krisis” atau “pembusukan” Marxisme. Menurutnya, Marxisme telah terpecah ke dalam dua arus utama: Marxisme Ortodoks (sosial demokrasi revolusioner) dan Marxisme Revisionis (sosial demokrasi reformis). Keduanya, dalam pandangan Sorel, sama-sama menjauhkan Marxisme dari misi revolusionernya dan menjadikannya sekadar program politik borjuis. Alih-alih mengubah tatanan sosial secara mendasar, Marxisme kala itu hanya berusaha mengganti para kapitalis dengan kelas baru politisi dan intelektual sosialis sebagai birokrat dan pejabat negara.
Untuk menyelamatkan ruh revolusioner Marxisme, Sorel mengajukan revolutionary syndicalism. Ia menolak politik parlementer dan mengalihkan perhatian pada aksi langsung, yang digerakkan oleh “mitos” General Strike, sebuah semangat yang tidak rasional namun agitatif yang dipimpin oleh serikat buruh otonom. Namun, ketika ia merasa sindikalisme revolusioner pun gagal menyentuh proletariat secara nyata, Sorel kembali mencari jalan lain. Upaya ini melahirkan “Cercle Proudhon”, sebuah kelompok politik aneh dan simbolis yang mempertemukan Marxis (seperti Sorel), sindikalis (Édouard Berth), anarko-sindikalis (Georges Valois), monarkis (Henri Lagrange), and nasionalis (Charles Maurras). dalam satu wadah. Dari sinilah muncul bentuk awal pemikiran proto-fasis: perpaduan antara “Marxisme Sorelian” dan nasionalisme, yang kemudian dikenal sebagai “sindikalisme nasional.”
Benito Mussolini sendiri juga memulai karirnya sebagai sosialis. Ia pernah menjadi anggota Dewan Nasional Partai Sosialis Italia dan editor Avanti!. Namun, kekecewaannya terhadap Marxisme ortodoks membuatnya tertarik pada gagasan revolutionary syndicalism. Keyakinan internasionalismenya semakin runtuh ketika ia menyaksikan, di Trentino pada 1909, bagaimana kaum sosialis Austria lebih mengutamakan identitas nasional ketimbang solidaritas internasional, bahkan mengembangkan gagasan “sosialisme rasial” yang meminggirkan orang Italia. Pecahnya Perang Dunia I menjadi pukulan terakhir: partai-partai sosialis Eropa dengan cepat meninggalkan internasionalisme dan berpihak pada negara masing-masing. Dalam Opera Omnia, Mussolini menulis bahwa krisis sosialisme bersumber dari kegagalannya dalammemahami persoalan bangsa serta menegaskan kematian internationalism, sementara nasionalitas adalah kenyataan historis yang tak bisa disangkal.
Dari titik inilah fasisme muncul sebagai sintesis antara sosialisme dan nasionalisme. Solidaritas internasional digantikan oleh dukungan absolut pada negara-bangsa. Mussolini kemudian merumuskan teori state corporatism, yang bertujuan menyatukan kelas-kelas sosial demi membangun negara kuat yang mampu menahan imperialisme Barat. Perjuangan kelas dianggap berbahaya karena berpotensi melemahkan konsep “bangsa”. Dalam pengertian ini, gagasan state corporatism Mussolini memiliki kemiripan mencolok dengan teori new democracy Mao Zedong, yang juga menekankan kolaborasi kelas nasional atas nama anti-imperialisme. Pola serupa dapat ditemukan di berbagai “negara sosialis yang benar-benar ada,” termasuk Tiongkok, Jerman Timur, Korea Utara, dan Republik Sosialis Persatuan Burma.
Fasisme Jepang: Sosialisme Murni
Fasisme Kekaisaran Jepang berakar pada pemikiran Ikki Kita, yang kerap disebut sebagai “bapak fasisme Jepang.” Gagasannya tentang “pure socialism” merupakan campuran unik antara sosialisme, nasionalisme, Buddhisme, Shintoisme, dan militerisme. Kita membayangkan Jepang sebagai bangsa yang kuat, adil, dan anti-kapitalis, yang akan memimpin revolusi global melawan imperialisme Barat sebagai pelopor bangsa-bangsa tertindas. Gagasan ini kemudian diadopsi negara Kekaisaran Jepang dan menjadi inti ideologi fasis Jepang. Sebuah ironi ketika pada akhirnya Kita justru dieksekusi oleh rezim yang terinspirasi pemikirannya.
Pengaruh ideologi ini kemudian merambat ke bagian selatan Asia. Subhas Chandra Bose dan Aung San, yang pada masa mudanya tertarik pada komunisme dan sosialisme, akhirnya memilih bekerja sama dengan Kekaisaran Jepang demi membebaskan bangsa mereka dari kolonialisme Inggris. Bose mendirikan Indian Independence Army (IIA), sementara Aung San membentuk BIA. Keduanya dilatih oleh Tentara Kekaisaran Jepang dan kemungkinan besar terpapar gagasan-gagasan fasis sinkretik ini. Bose bahkan mencoba merumuskan sintesis antara sosialisme nasional dan komunisme sebagai ideologinya sendiri.
Sinkretisme di Balik Burmese Way to Socialism
Pasca kudeta 1962, militer Myanmar di bawah pimpinan Jenderal Ne Win, yang sebelumnya merupakan anggota Communist Party of Burma, mendirikan Burma Socialist Programme Party (BSPP) sebagai kendaraan politik untuk menjalankan negara dengan sebuah ideologi baru, Burmese Way to Socialism. Thein Phe Myint, Sekretaris Jenderal ketiga Communist Party of Burma, bersama banyak kadernya, pada awalnya menyambut rezim BSPP sebagai pemerintahan Marxis-Leninis, meskipun secara institusional Communist Party of Burma sendiri memandang rezim Ne Win sebagai kekuasaan yang tidak sah. CPB menolak legitimasi BSPP sebagai pelopor kelas pekerja, dengan alasan bahwa partai tersebut merebut kekuasaan melalui kudeta demi menjalankan agenda politiknya sendiri, yang bertentangan dengan garis perjuangan CPB. Namun demikian, doktrin utama BSPP, yakni Burmese Way to Socialism, tetap mengadopsi banyak ciri dan kebijakan yang lekat dengan Marxisme-Leninisme. Karena itu, Thakin Chit Maung, salah satu pendiri Burma Workers Party, salah satu partai Marxis-Leninis lain, bersama banyak anggotanya, juga menyambut atau bahkan bergabung dengan rezim BSPP. Bahkan Thakin Tin Mya, anggota Komite Sentral Communist Party of Burma, turut membantu rezim BSPP merumuskan dan mengembangkan ideologi Burmese Way to Socialism bersama U Chit Hlaing, tokoh utama dan arsitek intelektual dari ideologi tersebut.
U Chit Hlaing adalah figur yang sangat aktif secara politik di Myanmar. Sepanjang hidupnya, ia pernah menjadi anggota tiga partai kiri yang berbeda: Communist Party of Burma, Red Flag Communist Party of Burma, dan Burma Socialist Party. Selain itu, ia juga mendirikan People’s Literature Company, sebuah penerbit yang berperan penting dalam menerjemahkan dan menafsirkan karya-karya Karl Marx dan Mao Zedong ke dalam konteks Burma. Perjalanan intelektual Chit Hlaing sangat dipengaruhi oleh pengalamannya di luar negeri. Karena ketidaksepakatannya dengan garis resmi Stalinisme yang dianut CPB, ia tidak diberi kesempatan untuk belajar di Uni Soviet dan justru berangkat ke Paris. Di sana, antara tahun 1951 hingga 1955, ia berkenalan dengan gagasan-gagasan Marxis-Leninis revisionis, khususnya Marxisme ala Josip Broz Tito di Yugoslavia, seorang pemimpin yang dengan gagah berani menantang Stalin tanpa harus berpihak pada blok Barat. Contoh komunisme non-ortodoks semacam ini, bersamaan dengan menguatnya Non-Aligned Movement, memberi pengaruh besar pada cara berpikir Chit Hlaing.
Sekembalinya ke Burma pada 1955, Chit Hlaing mulai menulis di majalah Myawaddy yang diterbitkan oleh militer. Dalam tulisan-tulisannya, ia mengkritik Stalinisme dan merumuskan sebuah kerangka filsafat yang ia sebut sebagai “sintesis idealisme dan materialisme.” Ideologi baru ini berupaya memadukan materialisme Marxis dengan prinsip-prinsip Buddhis. Untuk memperkuat keterhubungan tersebut, ia menggunakan istilah-istilah Pali tradisional guna memperkenalkan sekaligus memberi makna baru pada gagasan-gagasan Marxis dan sosialis. Dengan cara ini, ideologi sinkretik Chit Hlaing berusaha meletakkan dasar filosofis bagi sebuah negara sosialis yang secara moral dapat diterima dalam kerangka nilai-nilai Buddhisme. Meski memanfaatkan konsep-konsep Marxis-Leninis seperti anti-kapitalisme, partai pelopor ala Bolshevik, dan sosialisme dalam satu negara, pemikirannya pada saat yang sama bersifat sangat nasionalis dan konservatif.
Sejalan dengan third positionist state corporatism dan teori new democracy Mao, Burmese Way to Socialism menempatkan pembangunan negara sebagai tujuan utama melalui kolaborasi antarkelas atas nama “anti-imperialisme,” dengan memandang Burma sebagai bangsa yang tertindas. Ideologi ini diwujudkan melalui ekonomi yang dikendalikan negara lewat nasionalisasi. Pada saat yang sama, sebagaimana praktik National Bolshevism, ia juga mengembangkan politik othering yang “ultra-nasionalistik” terhadap kelompok-kelompok yang dianggap asing atau borjuis, terutama komunitas India dan Tionghoa. Dalam konteks politik Burma, Chit Hlaing dapat dipandang sebagai arsitek intelektual ideologi rezim. Peran yang setara dengan Giovanni Gentile dalam fasisme Italia, sementara Ne Win bertindak sebagai pemimpin politik yang mengimplementasikan dan mewujudkan ideologi tersebut dalam praktik, layaknya Mussolini.
Dengan demikian, kediktatoran militer Burma pada fase awal, di bawah panji Burmese Way to Socialism, mengadopsi bentuk sosialisme yang serupa dengan model “socialism in one country” dan National Bolshevism, yakni dengan menggabungkan sosialisme dan nasionalisme. Dalam sistem politik ini, partai pelopor yang menjadi satu-satunya partai legal menggunakan negara untuk menggantikan posisi borjuasi dengan menguasai alat-alat produksi dan secara efektif mengambil alih surplus nilai, karena kelas kapitalis secara formal dinyatakan tidak ada lagi. Untuk mempertahankan kekuasaannya, partai tersebut melarang gerakan serikat buruh dan menindas segala bentuk perbedaan pendapat, yang semuanya dicap sebagai tindakan kontra-revolusioner terhadap “negara sosialis.”
Rezim Militer Pasca-BSPP dan Neo-Fasisme
Namun pada 1988, militer Myanmar kembali merebut kekuasaan. Burma Socialist Programme Party dibubarkan, dan rezim baru dibentuk melalui State Law and Order Restoration Council (SLORC), yang kemudian berganti nama menjadi State Peace and Development Council (SPDC). Rezim ini secara terbuka meninggalkan sosialisme dan memerintah hingga 2010 sebagai negara otoriter yang pragmatis. Meski SLORC/SPDC tidak pernah memiliki ideologi yang dirumuskan secara jelas dan koheren, pemimpinnya, Than Shwe, merupakan mantan anggota BSPP. Ia bahkan menyelesaikan Higher Command and Staff Course di Frunze Military Academy di Uni Soviet, serta menerima pelatihan militer khusus dari KGB. Walaupun miskin doktrin ideologis resmi, rezim SLORC/SPDC tetap memperlihatkan resonansi kuat dengan pandangan anti-federalisme ala Stalinisme, serta meniru praktik Russification Uni Soviet melalui kebijakan Burmanization terhadap kelompok etnis non-Bamar. Kekerasan negara dijalankan secara sistematis dan dilegalkan: pembantaian massal, kekerasan seksual yang digunakan sebagai taktik militer, hingga upaya genosida terhadap kelompok etnis yang menentang proyek asimilasi budaya paksa (Burmanization).
Setelah pemilu 2010 yang penuh sengketa, pemerintahan kuasi-militer di bawah Presiden Thein Sein dan USDP (Union Solidarity and Development Party) berbelok ke arah ideologi yang paling tepat digambarkan sebagai neo-fasis identitarian sayap kanan. Arah baru ini menempatkan ultranasionalisme dan identitas Buddhis sebagai poros utama ideologi, dengan sasaran utama pembersihan pada kelompok non-Buddhis, terutama Muslim Rohingya dan Bengali. Pergeseran ideologis ini membuat banyak nasionalis Buddhis yang sebelumnya anti-militer justru merapat dan bersekutu dengan rezim. Gelombang ultranasionalisme tersebut secara langsung melahirkan kebijakan-kebijakan xenofobik dan memicu upaya genosida terhadap komunitas Bengali dan Rohingya. Pada saat yang sama, ia memperkuat proyek Burmanization serta mempertahankan sikap anti-federal ala Stalinisme, dengan membingkai setiap tuntutan federalisme sebagai ancaman separatisme etnis.
Pasca kudeta 2021, junta militer di bawah Jenderal Min Aung Hlaing kembali memberi sinyal penolakan terhadap neoliberalisme, dengan mendorong negara kesatuan yang tersentralisasi dan berupaya menghidupkan kembali sistem ekonomi koperasi negara seperti pada era BSPP. Junta terus melanjutkan kampanye genosida terhadap Rohingya, menggunakan ketakutan sebagai alat politik dengan menyamakan federalisme dengan separatisme, serta melakukan kejahatan perang terhadap warga sipil mana pun yang menentang definisi “negara” versi junta.
Ringkasan
Rezim BSPP sejak awal merupakan sebuah proyek sinkretisme ideologis, yang mempertemukan filsafat-filsafat yang sejatinya saling bertentangan. Misalnya Bolshevisme dan nasionalisme, maupun materialisme dialektis dan idealisme absolut, ke dalam satu kerangka politik yang dipaksakan. Meskipun generasi kedua junta militer Myanmar tidak pernah mengikatkan diri pada satu doktrin resmi yang baku, praktik kekuasaan yang mereka jalankan tetap konsisten bercorak ultranasionalis, anti-federalisme, isolasionis, dan totaliter. Cara mereka menjalankan kekuasaan, terutama penekanan pada Burmanization dan retorika anti-imperialisme sangat serupa dengan gagasan-gagasan yang hidup dalam Stalinisme dan National Bolshevism. Junta yang berkuasa hari ini bahkan menggabungkan warisan ideologis tersebut dengan neo-fasisme identitarian sebagai strategi mempertahankan kekuasaan otoriternya ditengah posisi mereka yang kian terdesak. Dalam lintasan sejarah yang berbeda-beda, rezim-rezim militer Myanmar telah berulang kali menunjukkan keterikatannya pada setidaknya satu bentuk fasisme, entah melalui cara mereka menjalankan kekuasaan, landasan filsafat yang mereka anut, maupun ideologi yang mereka nyatakan secara terbuka.
Seluruh hasil publikasi didanai sepenuhnya oleh donasi. Jika kalian menyukai karya-karya kami, kalian dapat berkontribusi dengan berdonasi. Temukan petunjuk tentang cara melakukannya di halaman Dukung C4SS: https://c4ss.org/dukung-c4ss.






