Oleh: Hein Htet Kyaw. Teks aslinya berjudul “Myanmar: The Accidental Agora”. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Ameyuri Ringo.
Support Ringo by considering becoming his Patron.
Selama beberapa dekade, sistem ekonomi dan politik Myanmar sangat dipengaruhi oleh rezim totalitarian dan dominasi militer yang kuat. Sistem koperasi yang dikendalikan negara, yang dimulai pada tahun 1962 melalui kebijakan “Jalan Sosialisme Ala Burma”, kemudian beralih menjadi kediktatoran militer non-ideologis pada tahun 1990-an. Masa singkat perkembangan ekonomi berbasis pasar sempat berlangsung di bawah pemerintahan NLD (2015–2020). Namun, kudeta militer tahun 2021 kembali memberlakukan model ekonomi koperasi negara yang mengingatkan pada era BSPP di bawah rezim junta militer saat ini. Meski dihadapkan pada ancaman hukuman berat, pasar gelap secara historis tetap berjalan dan terus menjadi bentuk perlawanan sehari-hari rakyat terhadap sistem ekonomi yang dikontrol negara.
Sejak merdeka dari kolonialisme Inggris, Myanmar terus dilanda perang saudara. Pada tahun 1962, militer di bawah pimpinan Ne Win melakukan kudeta dan mendirikan negara sosialis satu partai melalui ideologi “Jalan Sosialisme Ala Burma”. Ideologi ini memadukan nasionalisme, budaya Buddha, dan Marxisme, serta menolak demokrasi sosial dan kapitalisme. Rezim BSPP menasionalisasi pendidikan dan layanan kesehatan, mengusir bantuan internasional, dan memaksa perusahaan minyak asing hengkang. Pembatasan perjalanan ke negara-negara Barat diberlakukan secara ketat, sementara hubungan dengan negara-negara sosialis diperkuat. Program nasionalisasi besar-besaran sejak 1963 membawa hampir seluruh industri besar bahkan usaha kecil di bawah kendali negara, dan ini sangat berdampak pada bisnis milik asing. Media massa juga turut dinasionalisasi dan penerbitan swasta dilarang.
Tahun 1988, protes massal menuntut demokrasi dan ekonomi pasar menentang kebijakan “Jalan Sosialisme Ala Burma”. Namun militer kembali campur tangan, dengan membentuk junta SLORC (Dewan Pemulihan Hukum dan Ketertiban Negara) yang membubarkan BSPP dan kemudian berganti nama menjadi SPDC (Dewan Perdamaian dan Pembangunan Negara). Meski secara resmi meninggalkan sosialisme, SLORC/SPDC tetap mempertahankan struktur negara otoriter, memperpanjang kekuasaan militer tanpa arah ideologi yang jelas hingga 2010. Karena terkena sanksi dari negara-negara Barat, rezim SPDC melarang kepemilikan mata uang asing seperti dolar AS dan mewajibkan penggunaan “sertifikat valuta asing” dengan nilai tukar yang ditetapkan oleh militer. Produk budaya asing seperti musik, film, dan buku dikenai pembatasan ketat. Misalnya, film Rambo (2008) dilarang karena menggambarkan militer Myanmar secara negatif. Musik protes tradisional (Thangyat) dan musisi hip-hop berisi kritik sosial disensor, dan konser diawasi secara ketat. Para seniman dan penulis akhirnya menyebarkan karya mereka melalui jalur pasar gelap, seperti pedagang kaki lima yang menjual lagu dan buku yang telah disensor. DVD resmi yang berlisensi sulit diakses masyarakat biasa dibandingkan dengan DVD bajakan murah yang dijual bebas di pasar gelap.
Akses internet kala itu menjadi kemewahan yang hanya dinikmati orang kaya. Masyarakat kelas pekerja mengandalkan warnet dengan koneksi buruk untuk berkomunikasi dengan keluarga di luar negeri melalui platform seperti VZO, Gtalk, Skype, dan MIRC. Film-film internasional populer biasanya diunduh oleh pemilik warnet, lalu digandakan secara ilegal ke dalam CD, DVD, atau VHS. Salinan bajakan ini dijual oleh pedagang kaki lima yang terus-menerus terancam ditangkap oleh petugas kota. Pemerintah menggunakan industri film dalam negeri sebagai alat propaganda, dengan mewajibkan setiap film resmi menampilkan slogan politik di awal. Di masa itu, para komedian memegang peranan penting dalam membangkitkan kesadaran politik publik dengan cara mengolok-olok kebijakan pemerintah secara jenaka. Rekaman pertunjukan mereka menyebar luas melalui pasar gelap, dan bisa disewa atau dibeli masyarakat. Untuk barang mewah seperti komputer dan aksesori IT, hanya beberapa distributor resmi yang memberikan garansi. Namun banyak pedagang lokal mengimpor barang-barang serupa secara ilegal dari Thailand dan China dengan menyuap petugas perbatasan. Mereka mencampur stok resmi dengan barang selundupan guna menghindari pajak kepada rezim militer dan meningkatkan keuntungan. Selain itu, sistem gaji berbasis tunai membuat kelas pekerja hampir tidak membayar pajak pendapatan. Pasokan listrik sangat terbatas; di pinggiran kota, pemadaman bergilir membuat listrik hanya menyala maksimal enam jam per hari. Padahal, infrastruktur bendungan cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik dalam negeri. Namun, rezim militer lebih mengutamakan ekspor listrik ke China—mitra dagang utama mereka—sejalan dengan strategi isolasionis dan sikap anti-imperialis yang mereka anut. Rakyat secara luas menganggap kediktatoran militer sebagai rezim yang tidak sah dan tak pantas memerintah. Karena itu, penghindaran pajak dan aktivitas di pasar gelap dan abu-abu menjadi bentuk perlawanan dan upaya bertahan hidup secara ekonomi.
Antara 2010 hingga 2020, dunia mengalami banyak kemajuan dalam bidang ekonomi, akses listrik, dan infrastruktur. Namun, Myanmar justru mengalami kemunduran tajam setelah kudeta militer 2021. Masyarakat, demi merebut kembali kendali atas hidup mereka, membangun gerakan perlawanan yang berlandaskan demokrasi dan federalisme. Beberapa orang bahkan memilih mengundurkan diri dari pekerjaan di sektor publik sebagai bentuk dukungan terhadap Gerakan Pembangkangan Sipil (CDM). Rezim baru, Dewan Administrasi Negara (SAC), menyatakan niat untuk mengembalikan sistem koperasi negara. Setelah kudeta, SAC memberlakukan pemutusan internet secara nasional dan membatasi akses media sosial. Dukungan finansial untuk revolusi sebagian didorong oleh teknologi terdesentralisasi seperti blockchain dan mata uang kripto. Aset milik pendukung gerakan perlawanan atau CDM disita. Penangkapan para penukar mata uang asing menjadikan kepemilikan mata uang asing hampir ilegal, mengingatkan pada kebijakan sertifikat valuta asing (FEC) yang diterapkan SPDC di masa lalu. Situasi ini memunculkan rasa déjà vu yang tidak diinginkan, seolah-olah rakyat Myanmar terjebak lagi dalam masa kelam era BSPP dan SPDC.
Meningkatnya aktivitas pasar gelap dan abu-abu, seperti arus barang dan bantuan keuangan yang diselundupkan dari negara-negara tetangga seperti Thailand, menunjukkan adanya perlawanan ekonomi akar rumput yang semakin meluas. Meski tidak secara sadar mengikuti filosofi agorisme ala Samuel Edward Konkin III, gerakan ini secara nyata dan efektif mencerminkan prinsip-prinsip agorisme sebagai bentuk perlawanan yang lahir dari kebutuhan hidup sehari-hari.
Seluruh hasil publikasi didanai sepenuhnya oleh donasi. Jika kalian menyukai karya-karya kami, kalian dapat berkontribusi dengan berdonasi. Temukan petunjuk tentang cara melakukannya di halaman Dukung C4SS: https://c4ss.org/dukung-c4ss.