Agorisme: Politik Libertarian dalam Melampaui Kebijakan

Oleh: Jason Lee Byass. Teks aslinya berjudul “Agorism: Libertarian Politics Beyond Policy.” DIterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Iman Amirullah.

Umumnya, libertarian mencapai tujuannya melalui kerja-kerja kampanye untuk politisi dan pemungutan suara. Sedangkan agorisme mencapai tujuannya dengan melalui kerja-kerja untuk mencapai tujuan itu sendiri.

Agorisme adalah politik libertarian yang melampaui kebijakan.

Ini merupakan fokus umum pada pembebasan individu, penghormatan terhadap orang lain dan hak kepemilikan mereka, proses pasar, kekuatan mengorganisir diri melalui asosiasi  bebas – yang diambil diluar batas sempit politik yang ditunjukan untuk mengadakan perubahan kebijakan. Ini merupakan bentuk libertarianisme yang berinteraksi secara langsung dengan masyarakat, bukan melalui pihak ketiga seperti proses politik standar dan kerangka kebijakannya.

Banyak dari hal-hal yang diketahui oleh masyarakat sebenarnya sangat dekat dengan agorisme, kontra-ekonomi, aksi langsung, dan konsep-konsep terkait lainnya. Tapi disini saya akan mencoba dan menguraikan betapa radikal agorisme memecah cara pandang mengenai politik bahkan oleh sebagian besar libertarian itu sendiri.

I. Kerangka Kebijakan

Mari sedikit mundur terlebih dahulu, apa itu “kerangka kebijakan” yang ditolak oleh agorisme? Kerangka kebijakan adalah “alur pemikiran yang mengasumsikan bahwa tujuan utama kita adalah agar negara melakukan suatu perubahan kebijakan – misalnya, tidak lagi menganggap narkotika ilegal, dan tidak lagi memerintahkan polisi untuk memenjarakan pengguna narkotika.” Namun pada dasarnya, kerangka kebijakan hanyalah penggabungan antara negara dan masyarakat. Sesuatu yang pastinya telah diketahui para libertarian yang telah membaca tulisan Bastiat. Ini hanya merupakan upaya pengaburan antara apa yang dikatakan hukum negara penguasa suatu masyarakat tentang masyarakat tersebut, dan fakta sebenarnya di lapangan tentang masyarakat tersebut. Ini adalah asumsi bahwa tujuan dari politik secara otomatis harus mengambil bentuk perubahan kebijakan, atau bahkan tujuan dari politik hanyalah perubahan kebijakan.

Untuk menjelaskan apa itu kerangka kebijakan secara lebih lengkap, dan apa yang salah dengannya, ada baiknya kita melihat bagaimana hal itu diwujudkan (yang biasanya dalam bentuk yang jauh lebih lengkap) di kalangan non-libertarian.

Masyarakat khawatir mengenai kekerasan senjata api, maka mereka melembagakan kontrol senjata. Masyarakat resah dengan kondisi pekerja yang terjebak dalam kondisi kerja yang buruk dan upah yang rendah, maka mereka pun menaikan upah minimum. Masyarakat ketakutan dengan efek kencanduan narkotika, jadi mereka melakukan perang terhadap narkotika secara brutal.

Terus ada tuntutan dan seruan agar negara “melakukan sesuatu”. dan agar “sesuatu” itu menjadi perubahan dalam kebijakan negara yang cukup untuk mewakili ekspresi kemarahan mereka. Masyarakat berbicara melalui hukum-hukumnya, bagi mereka yang sangat percaya dengan kerangka kebijakan. Sebagai contoh, para radikal yang menentang perluasan undang-undang kejahatan rasial seringkali terdengar menurut mereka yang hidup dalam kerangka kebijakan, sebagai para bigot yang tidak peduli pada mereka yang menjadi korban dari kejahatan rasial. Efek sesungguhnya dari undang-undang kejahatan rasial dilihat tidak relevan dibanding makna ekspresif yang dimaksudkan.

Efek aktual di lapangan kurang relevan dengan yang ada dalam kerangka kebijakan karena kerangka kebijakan melibatkan jenis pemikiran yang agak ajaib. Sebuah undang-undang yang dibuat dengan baik, dibawah kerangka ini, bergerak menuju penerapannya setelah disahkan seperti yang telah ditulis, dan efek yang dihasilkan oleh undang-undang tersebut akan kurang lebih sama dengan apa yang tertulis. Legislator adalah para penyihir yang penuh ketelitian, menemukan semua kata-kata yang tepat dan mereka butuhkan untuk menciptakan mantra yang sempurna. Ketika mereka menciptakan aturan kontrol senjata api yang yang tepat, itu akan membuat senjata api tiba-tiba hilang. Mereka akan tiba-tiba menghilangkan senjata dari tangan para pelaku, dan tidak akan ada efek lain dari kebijakan tersebut selain dari yang dimaksudkan. Ini bukan untuk mengatakan bahwa dua orang yang percaya sepenuhnya pada kerangka kebijakan tidak dapat tidak setuju mengenai pengendalian senjata. Tentu saja mereka dapat – beberapa dari mereka mungkin menolak proposal dengan alasan berbasis hak. Namun keduanya, jika mereka benar-benar berada dalam keyakinan mengenai kerangka kebijakan, akan berasumsi bahwa hukum akan ditegakan sama persis seperti yang dituliskan. Tidak ada yang mengusulkan bahwa kebijakan semacam itu sebenarnya justru dapat meningkatkan insiden kekerasan. Kedua pihak bahkan juga mungkin tidak akan secara serius mempertimbangkan kemungkinan – bahkan jika mereka mengetahuinya dalam abstrak – bahwa kebijakan ini berarti akan ada penahanan massal yang lebih brutal, dan secara tidak proporsional terhadap orang-orang dengan kulit berwarna.

Jelas sebenarnya sangat sedikit orang yang begitu mempercaya kerangka kebijakan secara penuh, tapi ada banyak orang yang menjadi cukup dekat. Beberapa pendukung kebijakan upah minimum misalnya, sama sekali tidak menyadari konsekuensi yang tidak diharapkan dan tidak diinginkan yang dapat membebani orang-orang yang mereka coba bantu. Sebaliknya, mereka sebenarnya meremehkan dampak dari kebijakan upah minimum, dibutakan oleh keajaiban-keajaiban yang dijanjikan.

Banyak dari apa yang saya tuliskan disini seharusnya menjadi sesuatu yang telah dipahami oleh para libertarian, dan bahkan lebih terlihat seperti memberikan selamat pada diri sendiri. Saya mengetakan semua itu, untuk menunjukan bagaimana sebenarnya libertarian juga dapat terperangkap dalam jebakan ini. “Perjanjian Perdagangan Bebas,” misalnya, seperti sesuatu yang tidak mungkin ditolak oleh para libertarian – perdagangan terbuka akan selalu menjadi hal bagus! Iblis, bagaimanapun, selalu menunggu pada perincian di dalamnya, dengan Perjanjian Perdagangan Bebas sangat sering meningkatkan monopoli intelektual pada skala internasional. Dengan kata lain, para libertarian yang terjebak oleh klaim perdagangan bebas dari perjanjian ini dan menemukan bahwa diri mereka membantu untuk memperkuat proteksionisme tanpa batas negara.

II. Rengekan Pembebasan dalam Kerangka Kebijakan

Ada juga tingkat yang lebih fundamental dimana hampir semua orang – termasuk anarkis dan libertarian – cenderung terjebak dalam logika kerangka kebijakan. Ini tentu menyalahi tujuan politik dan sosial mereka dengan perubahan kebijakan yang mendekati tujuan mereka. Sebagai contoh, para libertarian setuju bahwa salah satu tujuan mereka adalah membela hak pengguna narkotika. Banyak yang menganggap ini berarti bahwa tujuan dari libertarian adalah untuk reformasi kebijakan narkotika. Sering dikatakan dalam argumen tentang strategi politik, bahkan dalam kasus pembangkangan sipil, tujuan akhir Anda adalah unyuk perubahan kebijakan tertentu — misalnya Anda harus melawan penegakan undang-undang mengenai narkotika untuk dapat mengubah undang-undang narkotika. Sedangkan gagasan bahwa pembangakan (sipil maupun non-sipil) dapat menjadi bagian dari tujuan itu sendiri kerap dianggap sebagai sesuatu yang konyol dan kekanak-kanakan.

Lalu kita harus menyadari bahwa tujuan dari melindungi hak-hak pengguna narkotika dan tujuan dari merubah undang-undang narkotika jelas sangat berbeda pada level analitis. Meskipun nampak tidak masuk akal, secara logis sangat lah mungkin untuk melindungi hak-hak pengguna narkotika tanpa harus mengubah undang-undang narkotika, dan hal yang sama berlaku dalam merubah undang-undang narkotika namun gagal melindungi hak-hak pengguna narkotika. Umumnya, alasan utama mengapa orang-orang ingin mengubah undang-undang narkotika adalah karena mereka menganggap bahwa itu merupakan cara untuk membuat pengguna narkotika dipenuhi hak-haknya yang saat ini diabaikan.

Disini lah penolakan konsisten agorisme terhadap kerangka kebijakan akan sangat membantu. Mungkin dalam kasus-kasus tertentu, hal terbaik yang harus dilakukan  adalah mencoba untuk membuat negara mundur dan menghentikan kekerasannya. Misalnya, jika ternyata sebuah negara menerbitkan undang-undang untuk penghapusan pajak, oposisi seorang agoris terhdap kebijakan tersebut akan menjadi sangat aneh. Namun, berfikir bahwa dunia kita akan dihadapkan pada kemungkinan-kemungkinan tersebut tentu jauh lebih tidak masuk akal. Sebaliknya, kita terus-menerus dihadapkan pada kemungkinan reformasi kebijakan yang kebanyakan dari kita secara realistis tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhinya, dan secara terus-menerus membawa resiko perubahan berupa satu langkah maju, lalu dua langkah mundur.

Sebagai contoh, pertimbangkan perjuangan tanpa akhir nan membosankan mengenai “reformasi” beracun dalam sistem peradilan pidana. Seperti yang ditulis Nathan Goodman:

“Reformasi [penjara] mungkin akan memperburuk masalah yang ada. Adalah sangat penting untuk mengingat bahwa penjara pertama kali diciptakan oleh para reformis sosial yang mengekehendaki alternatif terhadap hukuman fisik dan hukuman mati. Hukuman isolasi, yang kini dikategorikan sebagai bentuk penyiksaan psikologis yang traumatis, pertama kali diusulkan oleh para Quaker sebagai bentuk hukuman yang lebih manusiawi dibandingkan hukum cambuk. Sejak saat ini, kami melihat bahwa niat baik untuk reformasi justru membantu perluasaan sistem penjara. Penjara wanita diciptakan sebagai respon terhadap kampanye untuk mengakhiri kekerasan seksual terhadap wanita di penjara pria. Pembangunan penjara ini justru membuka jalan untuk peningkatan pemenjaraan terhadap wanita. Hukum Victoria mencatat bahwa hanya dalam satu dekade setelah pembukaan penjara wanita di Illinois pada tahun 1859, ‘jumlah wanita di penjara meningkat tiga kali lipat.’ Yang terbaru, kita dapat melihat proses serupa dalam pembangunan bagian transgender di penjara sebagai tanggapan atas berbagai serangan kekerasan terhadap narapidana transgender di penjara umum.

The Smarter Sentencing Act… mencontohkan pendekatan ‘satu langkah maju, dua langkah mundur’ untuk reformasi penjara. Rancangan Undang-undang ini akan menghapus beberapa hukuman minimum wajib yang keras terhadap pelanggaran terkait narkotika yang bersifat non-kekerasan. Bagaimanapun, berkat balas jasa dan penggabungan yang diperlukan untuk meloloskan RUU tersebut, ia juga mengancam akan menambah hukuman minimum wajib baru terhadap kejahatan yang mengandung kekerasan.”

Mengingat teori pilihan publik dan kelas, yang menjadi pertimbangan yang mendasari libertarianisme radikal pada awal pembentukannya, hal ini seharusnya tidak lah mengejutkan. Selanjutnua, pesimisme-kebijakan harus menjadi praduga kita terhadap dugaan reformasi. Lebih penting lagi, penolakan terhadap posisi ini (bahkan dari paraa anarkis dan libertariaan yang berkomitmen) itu sendiri jatuh kedalam alasan buruk yang sama dengan yang telah kita pertimbangkan mengenai kerangka kebijakan.

Untuk libertarian dengan strategi policy-sentris, seringkali dengan secara sadar, bahwa mereka harus memiliki ekspetasi pesimisme terhadap kebijakan yang sangat kuat. Kapanpun sesuatu (mau tidak mau) tidak berjalan seperti yang diharapkan, mereka sendiri akan mencatat pertimbangan pilihan publik dalam kefrustrasian. Namun, sama seperti para advokat upah minimum, yang mungkin tahu efek dari kebijakan upah minimum terhadap peningkatan jumlah pengangguran. Mereka dibutakan oleh keajaiban-keajaiban yang dijanjikan oleh reformasi kebijakan. Daya pikat dari pendekatan reformasi kebijakan yang berjalan secara hampir ajaib terhadap perubahan sosial – bahwa seseorang dapat mengubah hukum sebuah negara, dengan perubahan yang terjadi seperti yang dimaksudkan oleh para reformis. Bahwa kita dapat melewati semua kerja keras dengan cara meyakinkan negara untuk secara perlahan-lahan menghapuskan diri sendiri. Itu merupakan mimpi indah yang nampaknya terlalu indah untuk menjadi salah. Oleh karena itu, bahkan mengakui secara abstrak bahwa pesimisme terhadap kebijakan kita harus menjadi yang paling buruk dari yang buruk, mudah untuk meremehkan betapa benarnya hal itu, terutama dengan betapa tidak rasionalnya menarik setiap peluang yang muncul pada reformasi kebijakan.

III. Alternatif Agoris

Saya mengatakan ini bukan untuk membawa kita dalam posisi terombang-ambing. Saya tidak percaya, seperti yang kadang dinyatakan oleh para anarkis, bahwa tidak ada harapan. Pesimisme terhadap kebijakan yang paling buruk pada akhirnya bukan lah pandangan pesimistik, melainkan ajakan untuk mencari perubahan sosial dan politik melalui jalur lainnya.

Itu ada di tempat lain tepat di hadapan kita semua. Itu merupakan pengalaman harian kita semua, dimana masing-masing dari kita ditempatkan secara unik dengan berbagai bakat tertentu, berbagai posisi sosial, dan berbagai pengetahuan rahasia, yang menyesuaikan kita dengan berbagai macam bentuk perlawanan. Bukan berarti bahwa hanya ada satu jalan saja untuk menghapuskan negara dalam waktu satu malam. Ada banyak cara untuk berinteraksi secara langsung dengan orang-orang di sekitar kita dan membebaskan kita semua dari waktu ke waktu. Ketika bencana alam melanda, dan negara gagal hadir, kita yang berada dalam kondisi lebih baik dapat bekerja untuk saling membantu dan bergotong-royong satu sama lain. Para pekerja yang mengkehendaki untuk memeprbaiki kondisi mereka dari kejahatan dan pemaksaan kapitalisme manajerial oleh negara dapat melakukannya melalui serikat pekerja liar. Kelompok yang termarjinalkan dan tertindas secara sosial dapat membangun gerakan sosial di akar rumput untuk memperbaiki kondisi mereka, daripada mengandalkan negara yang dijalankan oleh para penindas mereka untuk memperbaiki hidup mereka.

Namun, berbicara secara luas seperti ini, dengan satu atau dua contoh mungkin dapat mengaburkan apa yang sejatinya hendak saya sampaikan disini. Yaitu dengan memperluas definisi dari tindakan politik secara radikal dari hanya sekedar perubahan kebijakan, membuka berbagai kemungkinan dengan cara yang bahkan tidak dapat kita bayangkan sampai hal-hal tersebut terjadi di hadapan kita. Kami berada dalam posisi ketidaktahuan radikal tentang apa langkah terbaik menuju pembebasan, dan ketidaktahuan itu tidak akan teratasi sampai mereka yang berada pada posisi terbaik dapat menyelesaikannya. Mereka yang memiliki posisi terbaik untuk menyelesaikannya hanya akan dapat melakukannya jika mereka tidak dibutakan oleh kerangka kebijakan yang membuat mereka berfikir bahwa jika kemampuan mereka tidak mampuk untuk secara langsung memengaruhi legislator, menyusun undang-undang, atau mencalonkan diri, mereka hanya dapat berperan dalam peran instrumental. Agar mereka dapat sadar-sesadarnya, mereka harus tidak dibatasi secara ideologis oleh keyakinan bahwa perubahan politik hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki kemampuan untuk merubah kebijakan.

Sebagai salah satu contoh dari kemungkinan kuat untuk perubahan politik yang mungkin saat ini kita tidak tahu secara radikal, mari kita kembali ke sesuatu yang saya katakan sebelumnya. Tujuan sejati kita dari “melindungi hak-hak pengguna narkotika” secara analitik jelas berbeda dari apa yang tampaknya dianggap identik oleh banyak orang sebagai tujuannya, “reformasi undang-undang narkotika.” Mereka yang ingin untuk melindungi hak-hak pengguna narkoba, harus, dalam pandangan agoris yang saya promosikan disini, hendaknya berupaya secara langsung melindungi hak-hak para pengguna narkotika, bukan secara tidak langsung dengan melalui kerja-kerja menuntut reformasi kebijakan mengenai narkotika.

Perbedaan yang disebutkan sebelumnya bukan hanya sekedar hipotesis. Karena kami memiliki contoh yang sangat mirip dengan apa yang telah saya fikirkan sebelumnya. Dalam membangun Silk Road, Ross Ulbrict melakukan tindakan langsung dalam melindungi pengguna narkotika – baik dari negara maupun dari bandar narkoba yang kejam. Dan itu merupakan kesuksesan besar. Itu membuat perdagangan narkotika menjadi lebih mendekati sistem pasar bebas, bahkan termasuk dalam sistem pemeringkatan eksplisit. Penggunaan Bitcoin dan anonimitas darknet melindungi para pembeli dari para polisi yang ingin memperbudak mereka. Berdasarkan salah satu penelitian kriminologi, keberadaan Silk Road berhasil mengurangi tingkat kekerasan dalam perdagangan narkotika.

Semuanya dilakukan tanpa satupun petisi atau menulis surat kepada para pejabat terkait.

Tentu saja, pada akhirnya Ross juga tertangkap, disidangkan, dan dipenjara karena keterlibatannya dalam pengembangan Silk Road. Namun karena keberaniannya, ia menjadi martir yang menginspirasi lahirnya banyak situs sejenis usai tumbangnya Silk Road, yang membantu melindungi hak banyak pengguna narkotika.

Apa yang kita perlukan adalah kerangka politik dimana setiap dari kita yang memiliki kemampuan untuk menjadi Ross Ulbricht dapat menyadari kemungkinan tersebut dan dapat mempersiapkan diri untuk beraksi saat melihat adanya peluang. Kerangka politik yang menempatkan segala tujuannya pada kerangka reformasi kebijakan yang tak berguna, yang salah melihat hukum negara sebagai sifat dari sebuah masyarakat, jangan membuat kerangka politik yang seperti itu. Kerangka politik berbasis reformasi kebijakan hanya akan memberikan kebutaan ideologis dan menghalangi gelombang pembebasan.

Maka, apa yang kita butuhkan adalah politik yang dapat menjelaskan dunia nyata layaknya apa yang kita alami setiap harinya, bukan ilusi perubahan melalui pemilihan umum dan perubahan kebijakan. Apa yang kita butuhkan adalah AGORISME.

Seluruh hasil publikasi didanai sepenuhnya oleh donasi. Jika kalian menyukai karya-karya kami, kalian dapat berkontribusi dengan berdonasi. Temukan petunjuk tentang cara melakukannya di halaman Dukung C4SS: https://c4ss.org/dukung-c4ss.

Anarchy and Democracy
Fighting Fascism
Markets Not Capitalism
The Anatomy of Escape
Organization Theory