Negara Tidak Bisa Dipisahkan dari Agama

Oleh: Thomas Raskin. Teks aslinya berjudul “State Cannot Seperate From Church.” Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Ameyuri Ringo

Support Ringo by considering becoming his Patron.

Liberalisme klasik menganjurkan, dalam kata-kata Thomas Jefferson, adanya “tembok pemisah” antara gereja dan negara. Dalam pembelaannya terhadap toleransi beragama, John Locke berpendapat bahwa pemisahan ini melindungi masyarakat dari “kekuatan koersif” individu-individu yang mencoba menanamkan “doktrin tertentu” melalui “api dan pedang.” Robert Audi kemudian menambahkan bahwa “jika negara memihak satu atau lebih agama, rakyatnya mungkin kesulitan mempraktikkan agama lain…”

Para pemikir ini menyadari bahwa negara yang mensponsori agama tertentu secara tidak adil akan mendiskriminasi warga yang berbeda keyakinan, dengan memaksa mereka mendukung program-program keagamaan yang tidak mereka setujui. Kita bisa memperluas pengamatan ini: diskriminasi negara terhadap kelompok teistik tertentu — seperti yang terjadi di Uni Soviet — juga menempatkan warga pada posisi yang tidak setara berdasarkan agama, dan dengan demikian melemahkan prinsip pemisahan antara agama dan negara. Liberalisme klasik umumnya menghadapi realitas ini dengan merancang sistem negara di mana kelompok-kelompok damai, baik religius maupun non-religius, dapat beroperasi secara bebas.

Masalahnya adalah bahwa negara seperti ini tidak pernah ada, dan tidak akan pernah bisa ada. Untuk memahami mengapa, kita perlu mengingat bahwa negara didefinisikan sebagai monopoli koersif atas penggunaan kekerasan dalam wilayah geografis tertentu. Meskipun secara teori negara dapat dijalankan melalui mekanisme non-koersif, kenyataannya semua negara yang pernah atau masih ada bertahan melalui pajak. Dua ciri khas dari negara, pengumpulan pajak dan pemaksaan hukum memerlukan penggunaan kekuatan terhadap orang-orang tak bersalah.

Kita akan segera menyadari bahwa bentuk-bentuk pemaksaan negara seperti ini menghalangi praktik kebebasan beragama. Pertimbangkan contoh yang sangat jelas: sebuah teokrasi, di mana setiap warga negara diwajibkan menyerahkan 20 persen dari pendapatannya kepada gereja resmi negara. Pengaturan hukum ini jelas-jelas melanggar prinsip pemisahan agama dan negara, karena memaksa mereka yang tidak mempercayai agama untuk melanggar hati nurani mereka dengan membiayai gereja yang tidak mereka dukung. Dengan membantu satu agama menggunakan dana publik, negara menghalangi kebebasan beragama warga yang harus menyumbangkan 20 sen dari setiap dolar mereka kepada agama yang mereka tolak—padahal uang itu bisa digunakan untuk mendukung keyakinan mereka sendiri.

Sekarang mari kita pertimbangkan kasus yang lebih sulit: sebuah demokrasi liberal di mana pemerintah mempertahankan pemisahan agama dan negara secara cukup tegas dan menggunakan uang pajak hanya untuk tujuan sekuler, seperti membangun jalan, jembatan, sekolah, kepolisian, dan sistem peradilan. Karena tidak secara eksplisit mendukung agama tertentu, negara ini tampak tak bermasalah. Tidak ada pembayar pajak Katolik, kata para pembela negara ini, yang secara langsung membiayai gaji pendeta Protestan. Namun bayangkan ada seorang warga Neo-Luddit yang menolak membayar pajak untuk pembangunan jalan, karena keberatan mendalam terhadap penggunaan mobil. Jika keberatannya sekuat penolakan seorang Katolik terhadap Protestanisme, lalu negara menangkapnya karena menolak pajak, maka negara sebenarnya sedang memihak Katolik atas Neo-Luddit dan melanggar prinsip pemisahan agama dan negara.

Kemudian, bayangkan minimal-state yang hanya memungut pajak untuk melindungi tubuh, properti, dan menegakkan kontrak warganya. Pengaturan ini pun tetap bermasalah. Meskipun negara memiliki lebih sedikit peluang untuk memaksa masyarakat untuk melanggar hati nurani mereka, beberapa peluang tetap ada. Misalnya, seorang pembayar pajak ateis tetap harus membayar untuk kepolisian yang melindungi gereja dari para demonstran. Subsidi ini tidak sepele, karena itu akan membebaskan gereja dari dana keamanan dan lebih fokus pada aktivitas keagamaannya. Dan uang pajak yang diberikan secara paksa itu tidak bisa lagi digunakan oleh si ateis untuk mendukung organisasi yang sejalan dengan keyakinannya.

Masalah subsidi ini juga terjadi sebaliknya. Dalam minimal-state, pembayar pajak Kristen harus membiayai perlindungan negara terhadap galeri seni yang memajang gambar anti-Kristen. Ini juga tidak dapat diterima, karena memaksa seseorang yang tidak melakukan kekerasan melanggar kode moral mereka.

Ada satu lagi bentuk negara yang bisa kita pertimbangkan. Dalam pengaturan terakhir ini, negara hanya mempertahankan kepolisian dan sistem hukum, tetapi tidak lagi menggunakan pajak. Sebagai gantinya, ia mengandalkan undian, biaya pengguna, dan cara-cara non-agresif lainnya untuk mendapatkan pendapatan. Masalah pajak pun lenyap, tetapi muncul masalah lain.

Bayangkan seorang perempuan yang tinggal dalam sistem ini adalah anggota gereja yang melarang berinteraksi dengan laki-laki. Lalu ia menjadi korban kekerasan dan ingin mencari keadilan. Ia dihadapkan pada pilihan sulit: ia bisa menghubungi polisi negara (dan mungkin harus berinteraksi dengan petugas laki-laki, yang melanggar keyakinannya), atau ia bisa meminta bantuan rekan perempuan seiman untuk membawa pelaku ke “pengadilan komunitas.” Jika ia memilih opsi kedua, ia dan rekannya bisa dituntut karena dianggap menyaingi monopoli kekerasan negara.

Contoh ini menunjukkan bahwa bahkan negara paling minimalis sekalipun tidak dapat eksis tanpa membatasi praktik damai dari keyakinan beragama. Locke sebenarnya telah menyinggung realitas ini, meski ia sendiri tidak sampai mendukung sistem di mana orang bisa “menyerahkan diri pada perlindungan dan pelayanan pangeran lain.” Karena dalam pandangannya, ini berarti negara memberikan ruang bagi kekuasaan asing di dalam negeri sendiri.

Meskipun terasa tidak nyaman, kita harus membiarkan “kekuasaan asing” seperti yang ditakuti Locke itu muncul. Praktik religius dan filosofis yang damai dan murni hanya bisa terjadi jika orang memiliki kebebasan untuk mengatur diri mereka sendiri. Ini berarti bahwa “pemisahan agama dan negara” tidak mungkin terwujud tanpa menghapus negara koersif sepenuhnya dan menggantinya dengan “masyarakat bebas dan sukarela” yang dapat dipilih setiap orang sesuai kehendaknya.

Seluruh hasil publikasi didanai sepenuhnya oleh donasi. Jika kalian menyukai karya-karya kami, kalian dapat berkontribusi dengan berdonasi. Temukan petunjuk tentang cara melakukannya di halaman Dukung C4SS: https://c4ss.org/dukung-c4ss.

Anarchy and Democracy
Fighting Fascism
Markets Not Capitalism
The Anatomy of Escape
Organization Theory