Sebenarnya, apa yang sedang terjadi saat ini, di negeri ini sejak munculnya TAP MPRS XXV/66 adalah penghapusan kekayaan intelektual, di mana banyak konflik antara kekayaan intelektual serta penentuan nasib sendiri (individu) atas teknologi yang terus berkembang mengartikan bahwa kepemilikan yang parsial dari tubuh seseorang oleh orang lain dalam dunia digit, dan inilah bilangan kapitalis.
Apakah masih berbangga diri telah terlibat dalam aksi reformasi yang tidak mampu mencabut dasar hukum pendidikan tersebut? Maka, aku katakan, selain munculnya penyakit megaloman dalam diri manusia neoliberalisme yang tentu saja mereka adalah borjuis kecil. Bereforialah!
Aku melihatnya seperti ini; jika aku mengaduk dadu saat bermain ular tangga, tentunya akan membaca ruang dalam menentukan target yang ingin diambil alih, dan juga adanya individu-individu lain pun dilibatkan, sehingga aturan permainan ini menjadi mampu menyiratkan sosial demokratik.
Hanya saja, demokrasi memang telah mengabaikan hak manusia secara utuh atas tatanan garis sosialis yang menjadi slogan liberalisme, yang telah membentuk perilaku manusia menjadi kaum neoliberal dunia digital kapitalistik, bahkan secara global. Tentu bukanlah satu hal yang lagi menarik untuk terus dipakai sebagai dokma sebagai manusia berpikir; sistem pendidikan, adalah penjajahan atas intelektualitas, serta kreativitas.
Di dunia digital kapitalsitik, kita tidak dapat melihat apakah kanan kiri saling berperang, selain menggunakan politik kuno, dengan menggunakan propaganda revolusi, di mana revolusi sistem aristrokasi, hingga birokrasi tidak pernah terjadi, selain perubahan kosa kata sebagai bentuk literasi. Kini, sudah saatnya, di dunia bilangan digit, manusia memiliki hak untuk tidak menjadi kanan atau kiri, tapi mencari segala awalan secara berkembang tanpa membangun benteng atas dirinya yang telah terbentuk oleh sistem pendidikan atas badan negara. Seperti merangkai partikel atom dalam uranium yang terolah menjadi nuklir sebagai komunikasi dan peradaban.
Jika sistem pendidikan dalam satu sistem hukum negara masih memberlakukan pelarangan atas individual dalam kebebasan berpikir, hingga berideologi, maka saatnya, kita berani menolak penjajahan berpikir sebagai hak kita, yang adalah manusia yang hidup, terlahir dan mati di bumi yang sama.
Aku menyebutnya; manusia “TELESASAR” bagi para individu yang berani menjadi gila dengan kegilaan tidak terpola, tidak terstruktur, namun berani berkembang sebagaimana anarkisme telah memberi ruang kebebasan yang terus bergerak, sebagai manusia yang berani mengambil resiko, membangun kehidupan atas haknya sebagai manusia, sebagai manusia sosial, mampu menjadi manusia berempati, karena telah memiliki pengalaman di kehidupan personal, dan sosial, di mana solidaritas manusia dengan manusia lain tidak lagi terbatasi oleh letupan isu popular.
Manusia TELESASAR memiliki keunggulan dalam hak serta kemurniannya sebagai pelaku hidup yang berani mengambil resiko, bahwa hidup adalah perjuangan antara cinta dan perang dalam jiwa yang personal. Negara di wilayah ini adalah wujud kegagalan kuasa pola pikiran manusia atas kesejahteraan manusia itu sendiri. Satu hal yang perlu diingat, seluruh akar masalah dari peperangan manusia, hingga penggunaan agama sebagai doktrin terkuat dalam psikososial adalah agraria. Namun hal ini tidak hanya berdampak pada perampasan tanah, namun sudah menjadi perampasan hak hidup manusia atas pilihannya, seperti kepada LBGT, TransWoman, Indivdiual, serta manusia atas tanah kelahirannya, bahkan kepada anak-anak yang terlahir untuk kebebasan hidup.
Pada akhirnya, manusia terlahir menjadi monster bagi manusia lain, dan bukan itu fungsi agama dihadirkan, namun kuasa pikiran mematenkan kekuasaannya dengan slogan tuhan sebagai yang absolut dalam dunia yang skizopenik. Disadari atau tidak, manusia menjadi mahluk terganas dengan kecenderungannya untuk berperilaku psikosomatis, hingga megaloman terhadap manusia lain, memberhalakan kapital diri untuk diri lain. Kebudayaan memiliki beragam tradisi dalam pola kehidupan, seperti pendidikan, hukum, sejarah, dan berkeyakinan, hingga spiritualnya, di mana tidak ada satu manusia pun, bahkan negara untuk memiliki hak tersebut kecuali manusia itu sendiri. Manusia TELESASAR.