Aku tidak lagi memikirkan, apakah bangsa ini sudah merdeka, dan sudah berapa lama. Aku pikir akan lebih adil bagiku jika cukup hanya menghafalnya, bahwa tanggal 17 Agustus, negara ini memiliki ritualnya. Namun, apa arti dari kata “merdeka”, jika menjadi tirani bagi masyarakatnya sendiri dalam hak kedaulatan individu, baik sebagai manusia, juga sebagai warga negara. Aku pribadi meyakini, negara tidak akan pernah berdiri tegak jika tidak ada sekumpulan individu-individu. Namun individu harus merdeka seutuh-utuhnya, hingga mewujud dalam sosial untuk merebut kemerdekaan secara sosial.
Jaman yang kuno tetap dibutuhkan di kekinian sebagai bacaan sejarah yang tidak bisa ditolak; bagaimana revolusi, juga demokrasi diteriakkan oleh sekumpulan pemikir-pemikir pencipta slogan untuk dapat menjadi tirani baru atas hak hidup individu, sekaligus hak ekonomi. Bangsa ini terlalu takut untuk mengakui kesalahannya di masa lalu. Seni, juga ilmu pengetahuan tidak lebih sebagai karya slogan yang dikultuskan.
Sekilas membaca gerakan Indonesia modern, di mana tidak hanya adanya gerakan sosial dalam mematangkan sebuah revolusi kemerdekaan, namun adanya nilai barter yang tidak main-main; perampasan “Bangsa West Papua”, dan “Politik Genosida 1965”, hingga kini belum tersentuh oleh negara, selain slogan-slogan kampanye pergantian presiden. Namun tragedi tersebut tidak dapat dibaca terputus, adanya kesalahan di masa lalu tetap harus dibaca detail, bahwa ada penghapusan pengetahuan tentang sejarah. Mereka yang memahami, sekaligus memiliki catatan ini, masih berdiri dengan satu kaki saja (kiri) atau beberapanya memilih menyimpannya sendiri, dan cenderung bergerak di ruang-ruang elite, tanpa memikirkan nasib manusia. Dua tragedi ini sangat mengerikan, tidak hanya berdampak ke dalam sistem pemikiran ilmu pengetahuan, tapi juga ke dalam hak hidup manusia atas kelahiran, serta tanah airnya, di mana individu-individu ini memiliki hak perlindungan berupa payung negara. Maka, apa fungsi negara jika propaganda hitam yang usang masih dipakai sebagai pendidikan sosial dalam menentukan hak kedaulatan individu masyarakat?
Sejarah panjang revolusi kemerdekaan hak hidup manusia dalam melawan tirani berangkat dari hak kemerdekaan individu dengan menentukan pilihannya dalam berpikir, juga dalam hidup. Bukan memerdekakan sisi kiri ataupun sisi kanan. Bangsa ini belum benar-benar selesai dalam hal kemerdekaan ini. Inilah wujud pemikiran modern yang konyol, bahkan ketololan bagi kaum terdidik. Bahwa dalam tubuh kiri maupun kanan ada satu keutuhan yang masih dilupakan, yaitu individu, sebuah keseimbangan dalam radikal pemikiran, juga radikal tindakan. Hak kedaulatan individu (Self Sovereignty) inilah yang tidak ada dalam tatanan masyarakat bernegara. Lantas bagaimana memilih keseimbangan, jika salah satu sisi cenderung diabaikan, dan fungsi negara hanya sebagai baju perekonomi dan sosial? Namun melupakan inti peradaban manusia yang hidup, bukan yang mati.
Aku temukann pencerahan dalam pemikiran Max Stirner berjudul The Ego and His Own. Meski masih banyak individu yang sangat jelas tidak membaca pemahaman Stirner akan The Ego and His Own, selain berbicara di popular kedai kopi sambil bergosip cerdas. Sama halnya sebuah puisi, tidak lebih dari curahan hati yang tertib bagiku, bentuk narsistik dengan kecerdasan ilmu pengetahuan. Namun di tulisan ini, aku tidak akan membicarakan tema itu, aku lebih memilih mengambil beberapa tulisannya dari jurnal yang berjudul The False Principle of Our Education. Bahwa ada masalah dalam sistem pendidikan yang hingga kini masih berjalan dalam lingkaran borjuis di negeri ini. Masalah ini adalah kunci kebebasan berpikir melawan sistem imperialisme yang masih sangat kuat di Indonesia, khususnya paska Politik Genosida 1965, saat para pemikir kritis dibunuh, tulisannya disembunyikan atau dibakar. Dalam jurnal pertamanya, The False Principle of Our Education, Max Stirner berpendapat bahwa;
“Dalam waktu, kita memiliki semangat juang mengekspresikan kata, dan banyak nama muncul ke baris terdepan, sekaligus seluruh klaim tentang dirinya sebagai nama-nama tersebut. Hal ini hadir dalam semua lini, seperti mengungkapkan kebisingan partisan terkacau, bagai elang yang berkumpul mengelilingi warisan busuk masa lalu, menjadi barisan mayat-mayat politik, sosial, gerejawi, ilmiah, artistik, moral, dan lainnya yang terus dikonsumsi; udara takkan pernah bersih selama nafas makhluk hidup tertindas. Namun, tanpa kita, waktu takkan mampu menjadi lentera kata selain semua harus bekerja sama secara total. Semua akhirnya akan tergantung kepada kita, apa yang mereka ciptakan dari kita, dan apa yang mereka usulkan untuk kita lakukan; kami mempertanyakan makna pendidikan yang mereka gunakan untuk memungkinkan terciptanya sebuah kata. Apakah mereka secara sadar menumbuhkan kecenderungan untuk menjadi pencipta atau memperlakukan kita tidak lebih sebagai makhluk pengikut pelatihan? Pertanyaannya sama pentingnya dengan pertanyaan dalam sosial kita, karena pertanyaan-pertanyaan itu berdasarkan pada makna inti. Sesuatu yang hebat akan menghasilkan kehebatan: jadilah “individu yang sempurna atas dirinya sendiri”, dan hal ini akan berdampak pada kehidupan sosial yang bermakna.”
Tulisan tersebut sebenarnya menggambarkan adanya kompleksitas ilmu pengetahuan modern sebagai sistem pendidikan. Begitu pula dengan apa yang terjadi di Indonesia, masalah ini belum tuntas, bahkan belum terjamah. Walau banyak cita-cita kaum terdidik untuk mencoba melawan sistem ini, sayangnya, saat mereka telah di dalam lingkaran tersebut, kecenderungannya adalah diam atau hanya berkembang dalam lingkaran internal saja, sehingga sistem pendidikan sebagai alat politik negara atas kekuasaan imperialisme tetap langgeng, dan sistematis, artinya; masalah kesadaran hak kedaulatan individu tidak selesai sebagi hak dasar manusia, hak pendidikan.
“Ini menjadi perhatian kami atas apa yang mereka ciptakan tentang kita dalam kepastian rotasi waktu; pertanyaan di sekolah adalah pertanyaan dalam hidup. Akhirnya sekarang dapat terlihat cukup jelas; apa yang telah dengan semangat juang dan kejujuran selama bertahun-tahun jauh melampaui kenyataannya di ranah politik, karena pendidikan tidak berani melawan penghalang kekuasaannya yang sewenang-wenang.” (The False Principle of Our Education – Max Stirner)
Akhirnya aku pun teringat Simon Springer dengan tulisannya yang berjudul Fuck Neoliberalism, sangat relevan untuk situasi di Indonesia kini.
“Saat ini neoliberal bukanlah masalah individu yang berkuasa. Sebaliknya, kepercayaan terhadap sistem itu sendiri yang menjadi inti dari masalah. Kami memproduksi dan mengaktifkan kondisi kelembagaan demi ‘Lucifer Effect’ untuk dimainkan sendiri (Zimbardo 2007). ‘Kejahatan yang binal’ sedemikian rupa sehingga para politisi ini hanya melakukan pekerjaan mereka dalam sistem yang hanya memberi imbalan penyimpangan kekuasaan, karena semuanya dirancang untuk melayani hukum kapitalisme (Arendt 1971). Tapi kita tidak harus taat. Kita tidak terikat dalam pesanan ini. Melalui tindakan langsung, dan pengorganisasian alternatif, kita dapat mendakwa seluruh struktur dalam memutus jaring lingkaran pelecehan ini. Ketika sistem politik didefinisikan, dikondisikan, terjerat, dan berasal dari kapitalisme, maka tidak akan pernah dapat mewakili cara kita untuk mengetahui keberadaan di dunia ini, jadi kita perlu mengendalikan jalan hidup ini, dan merebut kembali kolektif kita. Kita harus mulai menjadi tidak aktif dalam politik kita, dan mulai merangkul rasa solidaritas yang lebih relasional, sebuah solidaritas yang mengakui bahwa penaklukan, dan penderitaan seseorang sebenarnya menunjukkan penindasan semua (Shannon dan Rouge 2009; Springer 2014).” (Fuck Neoliberalism – Simon Springer)
Tulisan ini kubuat sebagai jurnalku dalam membaca gerakan politik di Indonesia, bagiku, ranah teori, hingga praktik politik yang berkembang sebagai bacaanku telah menjadi satu pengalaman personal, dan terlalu penuh untuk waktu yang kurang dari tiga tahun. Apakah tulisan ini terbaca atau tidak, aku tidak peduli, namun jika memimpikan adanya sebuah perubahan secara sosial, hal pertama yang perlu diperjuangkan adalah hak kedaulatan individu manusia; pendidikan.
Apakah manusia di negara ini sudah benar-benar siap melawan imperialisme besar yang masih menjadi tirani berpikir individu hingga pola berpikir sosial, atau masih asik sibuk berdiskusi tentang teori filsafat modern dengan mengabaikan kekerasan serta ketidakadilan, khususnya tirani individu atas individu. Semua adalah pilihan. Kecerdasan berpikir; berani bergerak maju, dan melawan budaya tradisi berpikir yang kuno sebagai evolusi kebudayaan manusia atas hak kedaulatan individu demi pendidikan dan ekonomi. Di mana, kebebasan berpikir individu akan membawa kecerdasan berpikir secara terbuka untuk memberikan peluang-peluang baru dalam membaca konflik, serta kebutuhan sosial itu sendiri, bukan menjadi pencipta slogan-slogan di atas penindasan manusia.