Oleh: Roderick Long. Teks aslinya berjudul “What Makes Police Brutality Possible?” Diterjemahkan oleh Ameyuri Ringo.
Jika ada pertanyaan, apa yang harus dilakukan sekelompok besar orang jika mereka menyaksikan beberapa orang bersenjata menyerang dan menyiksa secara brutal seseorang yang tidak bersenjata?
Jawabannya sudah jelas: datang membantu korban dengan cara melucuti senjata pelaku dan mengalahkannya.
Tetapi pada tanggal 14 November 2006 lalu, ketika mahasiswa UCLA Mostafa Tabatabainejad diserang di perpustakaan universitas, sekitar lima puluh mahasiswa yang terkejut dan marah berdiri, memprotes dan berteriak tetapi tidak melakukan intervensi apapun meskipun para penyerang jauh lebih sedikit jumlahnya dan hanya dipersenjatai dengan senjata yang tidak mematikan.1
Mengapa para mahasiswa tidak ikut campur? Karena para pelakunya adalah polisi kampus.
Ketika Tabatabainejad, yang tidak dapat menunjukkan kartu pelajarnya, diminta oleh petugas keamanan untuk pergi, dia menolaknya. Penjaga itu kemudian menghubungi polisi kampus. Di sini akan ada pernyataan yang berbeda: polisi mengatakan Tabatabainejad menjatuhkan dirinya ketanah dan menolak perintah untuk segera pergi, sementara sebagian besar saksi mata setuju dengan klaim Tabatabainejad bahwa dia pergi dengan damai tetapi memprotes ketika polisi mencoba memegang lengannya saat dia akan pergi meninggalkan mereka.
Bagaimanapun, polisi kemudian menyetrum Tabatabainejad berulang kali dengan taser2 saat dia menggeliat dan berteriak di tanah dalam sebuah insiden yang direkam oleh kamera ponsel seorang saksi mata. Ketika mahasiswa yang ketakutan di sekitar memprotes perlakuan brutal dan meminta nomor lencana petugas polisi, petugas dilaporkan mengancam akan menyerang para saksi mata yang protes secara damai ini juga. “Tabatabainejad mendorong pengunjung perpustakaan untuk bergabung dengan perlawanannya,” dalam pernyataan seorang petugas kepolisian.
Apakah polisi kampus berhak memaksa Tabatabainejad untuk meninggalkan perpustakaan? Apakah dia korban racial profiling?3 Apakah dia menjadi lemas sebelum atau setelah disetrum? Pertanyaan-pertanyaan ini, betapapun pentingnya, bersifat sekunder. Apa pun jawabannya, faktanya tetap bahwa penggunaan senjata berbahaya yang brutal dan berulang kali oleh petugas terhadap seseorang yang tidak pernah menggunakan atau mengancam kekerasan sangat tidak sesuai dengan pelanggaran apa pun yang diduga dilakukannya.
“Berhentilah melawan kami!” Teriakan seorang petugas yang terdengar pada rekaman amatir tersebut. Tapi menurut pengakuan polisi sendiri, perlawanan yang dilakukan oleh Tabatabainejad adalah hanya “merobohkan dirinya ketanah.”
Apakah dia menjadi pincang dengan sengaja atau sebagai akibat yang tidak disengaja dari sengatan listrik, dalam kedua masalah ini, menjadi pincang bukanlah “perlawanan” dan bukan merupakan ancaman di mana menyetrum bisa menjadi respons pertahanan diri yang sah, terutama mengingat perbedaan dalam jumlah.
Diminta untuk menunjukan nomor lencana oleh seseorang, saya hampir tidak perlu menambahkan, adalah permintaan yang sah dan juga bukan tindakan yang dapat menjadikan ancaman setrum adalah respon yang sah.
Singkatnya, sekelompok penyerang bersenjata, menolak untuk mengidentifikasi diri mereka kepada para saksi mata, berulang kali melakukan serangan kekerasan dan menyakitkan terhadap pengunjung perpustakaan yang tidak bersenjata dan tidak menggunakan atau mengancam kekerasan. Biasanya siapa pun akan berpikir bahwa dalam kasus seperti itu, para saksi mara memiliki hak mereka untuk terlibat secara paksa untuk melindungi korban. Dan biasanya, saya bertaruh, para saksi mata ini akan melakukan hal itu dengan tepat.
Tetapi ketika para penyerang mengenakan seragam polisi, entah bagaimana mereka menjadi kebal dari aturan biasa yang berlaku bagi kita semua. Apakah beberapa saksi mata menahan diri untuk tidak terlibat karena mereka takut (dengan aparat)? Mungkin. Tapi kebanyakan dari mereka, saya kira, bahkan tidak pernah mempertimbangkan untuk terlibat secara paksa; seragam penyerang mencegah pemikiran alamiah itu terjadi.
Ada suatu masa ketika mereka yang berada dalam posisi otoritas hukum secara harfiah dianggap sebagai makhluk yang secara inheren memiliki tatanan yang lebih tinggi, berhak atas status khusus yang dibebaskan dari aturan moral biasa. Doktrin itu dikenal sebagai hak ilahi para raja. Saat ini kami mengaku telah melepaskan doktrin itu; Deklarasi Kemerdekaan dengan berani menyatakan bahwa “semua manusia diciptakan sama.” Tapi kita masih terlalu cepat untuk memperlakukan pembawa kekuasaan resmi sebagai ras yang terpisah.
Ketimpangan tersebut bisa dibilang melekat pada institusi pemerintahan itu sendiri. Semua pemerintah, bahkan yang konon demokratis, memberikan hak-hak tertentu kepada agen-agen mereka yang tidak dimiliki oleh penduduk lainnya. Dan persetujuan kita dalam pemerintahan yang memungkinkan kita memandang polisi, bahkan polisi kampus, bukan sebagai orang yang sederajat tetapi sebagai majikan kita — yang memungkinkan mereka lolos dari pelanggaran seperti ini.
Mari kita menembus tabir mistifikasi dan melihat kasus ini sebagaimana adanya: sekelompok kecil orang biasa menyerang orang biasa lainnya sementara kelompok orang biasa yang jauh lebih besar berdiri “tanpa daya.” Profesi penyerang tidak relevan; penyedia layanan kepolisian tidak perlu diatur sebagai lembaga dengan otoritas yang lebih tinggi — sebuah “pemerintah” — untuk melakukan pekerjaan mereka. Kami tidak percaya pada raja dan kaisar lagi. Bukankah sudah waktunya untuk mengatasi gagasan tentang pemerintahan seperti itu?
1 https://en.wikipedia.org/wiki/UCLA_Taser_incident
2 Taser adalah senjata kejut listrik yang umum digunakan sebagai senjata pertahanan diri polisi.
3 Racial profiling adalah tindakan mencurigai, menargetkan, atau mendiskriminasi seseorang berdasarkan etnis atau agamanya. Baca selengkapnya di https://en.wikipedia.org/wiki/Racial_profiling