(Translated by Sasmito Yudha Husada)
Berdasarkan wawancara terbaru dengan seorang konsultan di White House, Ben Rhodes, Presiden Barrack Obama “tidak pernah berpikir dua kali tentang drones.”
Padahal serangan-serangan drone presiden lebih sering menewaskan rakyat sipil dari pada target yang ditetapkan. Drone tersebut telah menyerang pesta-pesta pernikahan, acara-acara pemakaman, dan juru-juru penyelamat. Satu serangan drone bahkan membunuh seorang penduduk Amerika berumur 16 tahun bernama Abdulrahman al-Awlaki.
Bagaimana seseorang bisa tidak berpikir dua kali ketika perintah-perintahnya menewaskan sejumlah penduduk sipil, meledakkan pernikahan dan pemakaman, bahkan membunuh seorang penduduk negaranya sendiri? Hal ini tidak lazim, nyaris sosiopat.
Ini adalah masalah yang kerap melanda para pembuat keputusan terkait perang. Keputusan mereka menyebabkan kematian masal, tapi mereka seakan-akan tidak terpengaruh.
Hillary Clinton, contohnya, memainkan peranan penting dalam mendorong campur tangan Amerika Serikat di Libya. Intervensi tersebut memberikan kekuatan kepada para pemberontak yang menyiksa tawanan dan menggantung mati orang-orang kulit hitam Afrika. Campur tangan itu melemparkan negeri Libya ke dalam kekacauan dan perang sipil yang sesungguhnya tidak ada sebelum terjadinya intervensi. Tapi bahkan setelah segala ini terjadi, Clinton menyebut intervensi itu “kombinasi kekuatan militer dan diplomasi pada puncak terbaiknya.” Kemudian, Christopher Preble dari Cato Institute menyebutkan, “Jika inilah ‘kombinasi kekuatan militer dan diplomasi pada puncak terbaik’ … saya tidak mau melihat dalam kondisi terburuknya.”
Ketika keputusan-keputusanmu menyebabkan kematian masal dan kehancuran, sebuah permintaan maaf seharusnya disiapkan. Setidak-tidaknya, pikirkanlah kembali keputusan-keputusan tersebut.
Seperti yang dinyatakan oleh seorang ekonom, Bryan Caplan, “Suasana hati yang sepantasnya dirasakan akibat sikap agresif semacam itu adalah penyesalan – dan hasrat terhadap jalan yang damai.” Dapat dipahami dijika seseorang mampu menyimpulkan bahwa menewaskan orang tak berdosa adalah sesuatu yang tak terelakkan. Tapi mengetahui harga akibat perbuatanmu seharusnya menjadi beban yang berat.
Tapi justru orang-orang macam ini sering bercanda seenaknya dan membanggakan pembantaian warga asing yang diperbuatnya. Komentar Ted Cruz terkait membuat pasir menyala contohnya.
Tak jauh beda, pada 2010 lalu, Barrak Obama bergurau begini, “The Jonas Brothers ada di sini … Sasha dan Malia adalah fans besar mereka. Tapi nak, jangan berpikir macam-macam. Saya punya dua kata untukmu, ‘predator drones.’ Kamu tak akan sempat melihat mereka datang.”
Bagi para politisi yang mengambil keputusan siapa hidup siapa mati, kekerasan pemerintahan adalah candaan besar. Hal ini benar adanya, entah mereka presiden seperti Barrack Obama, atau kandidat calon presiden seperti Ted Cruz.
Mereka membunuh tanpa belas kasihan, mereka bangga atas intervensi celaka mereka, dan mereka bersenda gurau di televisi nasional tentang kekerasan yang telah atau akan mereka lakukan kepada pihak-pihak tak berdosa di luar negeri mereka.
Jika seorang warga negara secara pribadi membunuh dan membicarakan kekerasannya dengan cara seperti itu, ia akan dianggap sebagai orang yang berbahaya. Orang seperti itu minimal akan dikucilkan, atau lebih mungkin lagi diberi kurungan seumur hidup.
Tapi insentif dalam politik berbeda. Sistem politik kita memberikan insentif kepada para pemimpin untuk menewaskan orang-orang tak berdosa di luar negeri. Memamerkan kebijakan agresif seperti itu memberikan citra garang saat pemilu. Sementara itu, ketika melakukan pembantaian saat menjabat, dapat memberikan kesan kepada publik bahwa hal tersebut dilakukan demi keamanan rakyat. Sekali mengikuti insentif seperti itu, merasionalisasi pembantaian yang dilakukan adalah cara yang jauh lebih mudah untuk dapat tidur pada malam hari dibandingkan dengan secara serius merenungi nyawa-nyawa yang telah diambil. Lebih baik tidur nyenyak dan bercitra garang di mata yang rakyat yang dipimpin daripada memikirkan ulang segala perbuatannya.
Sistem politik kita menguasakan orang untuk membunuh. Mendukung mereka untuk membantai dengan gegabah, tanpa pikir panjang, dan tanpa belas kasih. Negara adalah sebuah sistem yang memungkinkan orang menjadi pembunuh kejam.